Menjadi Seorang Muslimah di India

October 15, 2017 3 Comments


Kehidupan beragama adalah salah satu kekhawatiran saya saat hendak berangkat ke India. India memang negara pertama yang saya kunjungi  jadi bisa dibayangkan sekian banyaknya ketakutan, keraguan, dan kekhawatiran yang saya alami saat itu. Saat itu saya belum mengenal PPI India (Perhimpunan Pelajar Indonesia di India) atau blog-blog mahasiswa Indonesia di India. Jadi gambaran kehidupan di India yang saya tahu hanya sebatas dari Wikipedia. 

Menjadi seorang muslim di negara yang minim penduduk muslim memang menjadi tantangan tersendiri. Apalagi bagi perempuan yang berjilbab dimana jilbab merupakan simbol agama. Akan sangat mudah mengidentifikasi kepercayaan seorang perempuan yang berjilbab dibandingkan dengan seorang laki-laki yang juga seorang muslim. Karena bisa dibilang hampir tidak ada simbol agama yang kentara yang melekat pada laki-laki. Sehingga lebih sulit untuk menebak apalagi men-'judge' laki-laki. 

Menjadi muslim di India tentu tidak semenegangkan di Eropa karena menurut statistik India merupakan negara dengan populasi muslim terbanyak ketiga di dunia. Namun 'prestasi' tersebut tidak juga memuaskan karena jumlah penduduk muslim di India hanya mencakup 13% dari total penduduk. Which is sama aja bohong!

Secara umum menjadi seorang muslim di India, terutama perempuan, tidaklah sulit. Tentu saja pertanyaan seperti "Why are you always covering your head?" atau "Why do you never show your hair?" akan masuk dalam jajaran Frequently Asked Questions (FAQ). Mereka bahkan tidak tahu bahwa saya adalah seorang muslim padahal saya selalu mengenakan jilbab yang notabennya adalah simbol agama. Banyak yang langsung menyadari bahwa saya muslim namun ada juga yang masih bertanya-tanya. Saya malah pernah beberapa kali dikira orang Hindu oleh penduduk lokal. 

Akses untuk makanan halal sangatlah mudah mengingat penganut Hindu kebanyakan vegetarian. Namun bagi yang ingin sesekali masak daging tentu perlu diperhatikan tempat membeli daging tersebut. Alangkah lebih baik mencari penjual daging yang juga seorang Muslim. Disekitar tempat tinggal saya belum saya temukan penjual daging halal. Biasanya saya akan order ayam secara online dengan menggunakan aplikasi. Beberapa daging biasanya akan tertulis 'Halal cut'. Perlu diingat juga bahwa daging yang saya maksud tentu tidak termasuk daging sapi sebab sapi merupakan bagian dari agama mereka. Sudah seharusnya kita menghormati kepercayaan mereka layaknya mereka menghormati kita.

Akses tempat ibadah tentu menajadi sangat vital apalagi saat kita sedang bepergian. Bagi laki-laki masalah tempat ibadah tentu tidak begitu berarti hanya saja terkadang agak sulit mencari masjid sebab jumlah masjid di India tidak sebanyak di Indonesia. Namun bagi perempuan, boro-boro nemu masjid, masuk masjid saja kadang kita nggak boleh. Tentu saja dari kesekian banyak masjid yang tidak 'menerima' perempuan, ada yang menerima perempuan. Di Delhi sendiri yang saya tahu hanya Jama' Masjid Nizamuddin yang memeperbolehkan perempuan untuk beribadah. Mecca Masjid di Hyderabad juga mengizinkan perempuan untuk beribadah itupun jika kita mengenakan celana kita tidak diperbolehkan untuk masuk. Teman perempuan India saya yang juga muslim pernah mengatakan bahwa perempuan wajib sholat dirumah. Saya tidak terlalu mengerti apakah ini berkaitan dengan mazhab di India yang cenderung Hanafi? 

Bulan Ramadhan tentu menjadi bulan yang sangat berarti bagi masyarakat muslim. Sensasi-sensasi Ramadhan yang biasa kita rasakan di Indonesia tentu tidak akan ada lagi di Indonesia. Tidak ada panggilan sahur berkumandang, apalagi suara bedug Maghrib. Suatu keberuntungan jika kita bisa tinggal di lokasi yang dekat dengan masjid atau di area muslim karena kita bisa mendengarkan suara azan setiap saat. Namun, bagi saya yang selalu jauh dari masjid, tentu alarm sahur dan azan maghrib dari aplikasi smartphone menjadi sahabat setia dikala puasa. Bulan Ramadhan yang selalu jatuh pada musim panas tentu menjadi halang rintang tersendiri. Manahan lapar dahaga pada suhu nyaris 40 derajat atau bahkan lebih mulai pukul 04.00 - 19.30 (India Utara e.g. Delhi) atau 04.15 - 19.00 (India Selatan e.g. Hyderabad) tentu tidaklah mudah. Keteguhan hati dan keistiqomahan tentu menjadi komposisi vital dalam menunaikan ibadah puasa. 

Hari raya Idul Fitri dan Idul Adha tentu menjadi momen kemenangan bagi setiap muslim. Perayaan Idul Fitri dan Idul Adha tentu tidaklah sekhidmad di Indonesia. Bagi yang berdomisili di New Delhi dan sekitarnya tentu perayaan ini bisa kita rasakan di Kedutaan Besar RI. Bagi berdomisili di kota lain tentu sholat eid menjadi sebuah kebingungan tersendiri. Pasalnya, perayaan Idul Fitri dan Idul Adha di Indonesia selalu satu hari (kadang dua hari) lebih cepat dari pada India. Alhasil tidak jarang kami mahasiswa Indonesia tidak melaksanakan sholat eid karena ada kuliah. Namun banyak juga dari kami yang membolos dan membuat acara kumpul-kumpul sendiri dengan mahasiswa Indonesia. (P.S. Malam takbiran Ramadhan tahun lalu saya dikamar mengerjakan laporan praktikum Kimia sambil mendengarkan gema takbir dari YouTube) 

Saya sangat bersyukur bahwa rata-rata orang India sangat open-minded dalam hal agama. Selama saya berkuliah di India, saya tidak pernah mempunyai masalah yang berkaitan dengan agama. Saya juga tidak melihat adanya diskriminasi di perguruan tinggi tempat saya belajar dan so far belum ada cerita negatif dari teman-teman Indonesia disini terkait rasisme atau diskriminasi di kampus. Kebetulan semua dosen saya adalah Hindu dan saya adalah satu-satunya Muslim di kelas namun hal tersebut sama sekali tidak mempengaruhi proses belajar disini.

Seeking Identity Part II - Deciding to Grow

September 06, 2017 1 Comment
When I was 15 years old, I read a book, that actually belonged to my parents, The Magic of Thinking Big by David J. Schwartz. I was overwhelmed. The book was mind-blowing. It was my first ever self-developement book that I've ever read. I didn't say that I understood every single theory in that book but, yes, that book was becoming the opened door, leading me to read such kind of books more and more, until now. From that book, I realized on my early age that everyone could be successful. Everyone deserves for success. I grew up believing that I had to be successful person and trusting myself fully that I would be the one someday.
 
I am so grateful that my parents raised me with love and freedom not rule. Since my very young age, they always freed me to choose what I wanted to be and what I wanted to learn. They totally gave me freedom of choice for my future. Some people might be thinking that I was so lucky. I was. I am. Having parent who always gives me freedom doesn't mean that I can do anything that I want. Of course I have freedom of choice, but the most important thing is I have to be responsible for every single decision that I make. Since then I had more belief on myself that I would be successful someday because my parents will always bless me. 

When I was a young girl, I didn't understand the concept of success. Whenever I read a story about how successful people achieve their goals, I ended up feeling something burning and screaming inside my chest. I wanted to be like them. Be successful, like them. The more stories I read, the more desire I have. Slowly, my parameter of succes is defined by what I read. I didn't even realize it. I didn't even know.

****

I come from middle-class family. My parents are selling newspaper to make a living. I still remember when I was in elementary school, every year we packed up our stuffs and moved to different houses because the house rent was over. They always tried to find a cheap rented house so that they could save more money for my and brother's education. They sent me and my brother to private elementary school so that we could get better education. For elementary schools, private institutions are better than the government ones.

 My parents were so proud of me because I scored high marks in National Examination and succeeded to be admitted in the second best state middle school in my city. There are only 16 state middle schools and I could get into one of them. I felt successful because I could make my parents proud of me. Since then I started defining success as something that could make my parents proud.

The taste of success, that I defined, didn't last long. My academic progress in middle school didn't satisfy my parents. They never told me about that but I could see from their faces. The success that I felt became fading, and it kept fading until I graduated from high school.

After completing my high school level. I was rejected from the university I applied. I was heartbroken. It was my dream university, and so were my parents'. My parents allowed me to make any decision. Then, I decided to apply for nursing college. I was admitted effortlessly. They showed their gratitute but I wasn't actually satisfied. 

My first year in nursing college was just okay. I could easily score GPA 3.65 out of 4.00. My parents began proud of me again. By seeing their proudness upon me  I thought I was successful again, but my heart didn't say the same. Deep down myself I was unhappy and unsatisfied. My definition of success had changed. It's now not only about my parents, but also me. 

I started making goals and tried to achieve them in order to feel successful. One day I read a story about someone who studied in India (now he is in UK). I was amazed. I wanted to study abroad too. I told my parents about my will for persuing my degree in India. They simply agreed since tuition cost in India is more affordable than in Indonesia. But they didn't promise me to send much money for my living cost, so I had to spend the money as wise as I could. That's interesting, I think. Because now I learn about how to manage money.

I flew to Delhi and never realized that this decision would change the course of my life. It was my first flight ever and I was alone. After my arrival, I went to Indonesian Embassy in Kautilya Marg, Chanakyapuri, New Delhi. Every single aspect of India was new for me. The smell, heat, even the sun seemed different in India. 

Weeks passed by, while waiting for admission in Osmania University, I realized that how harder my parents have to work to fulfil my ambition for success. I became restless. In order to help my parents, I tried to find a job while waiting for admission. I went to Ambience Mall in Delhi and sought for a vacancy. I knew it's illegal but I didn't care. I entered shop by shop in the mall. Most of them just gave me a phone number and asked me to speak to the HRD. Finally, I entered Starbucks Cafe. They welcomed me and directly accepted me to work there. They would pay me Rs 10,000 per month and my workload was from 9 to 5 for 6 days in a week. I was so happy. They asked me to come next day with my resume and I could start working there as a Barista (a person who prepares and serves the coffee)

Before having an idea to look for a job in mall, I applied for a job in Indonesian Embassy. I did apply with no expectation since I was zero experience. But suddenly the day when I was about to go to Starbucks with my resume, I got a call from embassy and said that they would hire me. Then, I went to the embassy with auto and met the Head of Education Office. He needed someone to be a part-time secretary for about six months. He gave me time to think.

It was so difficult to decide, since there was no secretary at that time so I would be the only staff in Education Office besides the Head of Education Office. Now, my orientation was not about money, I thought more about how I would "survive" working in government office with no experience? I tried to think in different point of view. I was sure that they would hire me with a reason. They couldn't be so careless hiring a random person to handle a big job. I started having faith in me and finally we made a deal. This would be a gold opportunity because I could have a good position in a highly prestigious government office on my young age. 

My working days in embassy were so hard of course. My boss, he is a Mathematician. He run the office rigidly and highly strict, and I was like the opposite version of him. I was raised by my parents with freedom. But it's okay. I was blessed with the ability to adapt without feeling underpressure. My job was not only about making letters, but also replying emails, paying bills, arranging my boss's schedules, making weekly progress report, handling driver's salary (and my own salary), shopping for stationary, repairing the photocopy machine, and the most challenging part was budgeting. He gave me the password of the safe box so that I could access the office's money. I was speechless to see how much amount of money was in the safe box. There were lakhs of rupees and thousands of dollars. I didn't even believe that he had trust in me so much. He paid me Rs 20,000 per month on my first three months and approx. USD 500 per month on last three months. 

Being a secretary in a government office was my second biggest decision I've ever made after studying in India. My office days were so stressful and almost had no holiday for me. Ideally, there should be at least three staffs in education office, but I was the only one. My load was three times heavier than the normal staff, plus the education office was known as the most hectic office than others such as Political Office, Defense Office, Visa Office, etc. My official days were Monday to Friday. I often slept at embassy's mosque on Friday night because I had to go to airport in Saturday early morning (arround 5 Am) to pick up some guests. My phone had to be active 24/7 because he might message me anytime, even on Saturday or Sunday, asking me to book a flight and hotel for his official visits to Singapore, HongKong, Malaysia, Egypt, or Indonesia. 

One night I felt so depressed. I couldn't hold back my tears anymore and finally I cried as much as I could and ended up sleeping with my painful head. I woke up early and started thinking again. I questioned myself, "Is this decision right?"  I thought that I was over-confident, taking a big job without any experience. 

In the month of August I  flew to Hyderabad for my final admission. I paid my first year tuition fee with my own hard earned money. I spent the rest of my monet for my first year in Hyderabad. I was so happy and so were my parents. I didn't ask a single peny from them during my first year study. Even, I was able to give them about Rs 50,000. Even though it was only for one year but I was still proud of myself because I tried to be independent. 

****

I always believe that there is no wrong decision. If we think that the decision is wrong then we will end up believing that we are doing something wrong. We will know that the decision we make is right (or wrong) is after performing some actions in order to prove whether it is right or wrong. 

Successful people are those who are able to prove that their decision or their choice is right.  There are lots of stories of successful people who quit from their jobs and start their own businesses, become a CEO, or creating something new and then becoming a millionaire. For normal people, quitting from a job which provides you with a good salary is something crazy. But if they were able to prove that their "crazinesses" were right then you were right.



============================================================================
Seeking Identity (Mencari Identitas) adalah sebuah tema besar dari beberapa tulisan bersambung yang ditulis berdasar ide dan gagasan saya sendiri. Tema besar tersebut saya beri nama Seeking Identity karena mencari identitas bagi saya adalah sebuah life-time job. Tulisan-tulisan tersebut akan banyak terlahir dari pengalaman pribadi yang menurut saya akan sayang untuk saya simpan sendiri. Bukan untuk platform curhat atau berkeluh kesah namun sebagai perantara penyebaran ilmu dan ide.

Seeking Identity - Part I

July 17, 2017 Add Comment



Je suis ce que je suis, et si je suis ce que je suis, qu'est-ce-que je suis? (I am what I am, and if I am what I am, who am I?)

Dua hal utama yang menjadi komponen dalam identitas setiap orang secara umum adalah name (nama) dan occupation (pekerjaan). Coba saja tonton acara-acara seminar online di YouTube macam TED, hal pertama yang akan mereka katakan adalah, Hi, my name is Smith and I am a psychologist, atau Hi, my name is Rebecca and I am a chef, atau Hi, my name is Rahma and I am a student of Microbiology. Lebih mudahnya tonton saja vlog-vlog para YouTuber, dan lihat video pertamanya. Pada video pertama setiap vlogger pasti mereka akan mengungkapkan identitas mereka. Dua hal pertama yang akan mereka ungkapkan pastilah nama dan pekerjaan. Sungguh tak lucu kalau saat perkenalan hal yang kita ungkapkan pertama adalah nama dan hobi, atau nama dan warna favorit. Misal, Hi my name is Rahma and I love pink. Errgghh, WHO CARES?!

Saya ambil sebuah analogi sederhana misal saya ke supermarket mau beli sesuatu dan ternyata saya  cari kesana kemari tidak menemukan barang tersebut. Tentu saya akan bertanya pada petugas supermarket nya. Hal pertama yang akan saya tanyakan pasti, "Mbak/Mas, ada obat nyamuk?". Saya pasti akan segera diantar ke rak khusus obat nyamuk. Kalau petugasnya super ramah pasti otomatis akan bertanya, "mau yang merek apa, Mbak?", "yang merek SuperKiller mas," tanpa berfikir panjang pasti dia akan segera mengambilkan barang tersebut untuk saya. 

Dua hal saya garis bawahi adalah obat nyamuk dan SuperKiller. Kenapa dua hal itu yang saya garis bawahi? Karena dua hal itulah yang kita sebut identitas. SuperKiller adalah 'name' dan obat nyamuk adalah 'occupation'. Kalau benda tersebut bisa bicara pastilah yang diucapkan pertama kali adalah Hai, nama saya SuperKiller dan saya adalah Obat Nyamuk.

So, why are name and occupation so crucial? Well, I won't talk much about 'name' because it's already given by our parents and we can say that it is already permanent. Sebaliknya, untuk mengisi kotak identitas yang berlabel occupation tersebut kita harus belajar dan bekerja, tidak bisa cuma 'asal tempel' seperti saat kita mendapatkan nama dari orang tua kita. Pertanyaan diatas akan saya buat bercabang menjadi, why occupation is the most crucial thing? Because occupation represents your ability or skill. Occupation  akan menggambarkan kemampuan atau keahlian atau ilmu kita. Itulah hal yang dunia ingin tahu, kemampuan atau keahlian atau ilmu kita.  

Esensi dari sebuah identitas adalah sebagai pembeda. Bayangkan jika manusia di bumi ini tidak punya nama, tentu dunia akan menjadi kacau. Sama halnya dengan obat nyamuk diatas, fungsi dari diberikannya label merek SuperKiller adalah sebagai pembeda obat nyamuk satu dengan obat nyamuk buatan pabrik lain. Jaman dahulu kala mungkin 'nama' saja sudah cukup menjadi pembeda untuk satu orang dengan yang lainnya. Namun era semakin berkembang dan nama saja tidak cukup untuk membuat kita berbeda dengan orang lain. Dunia membutuhkan sesuatu yang lebih kompleks dari  pada sekedar nama. Cukup masuk akal jika ada nasehat yang mengatakan bahwa ilmu adalah pembeda satu orang dengan yang lainnya karena ilmu adalah identitas. 

Untuk mengisi kotak identitas berlabel 'occupation' tentu tidak mudah. Pekerjaan saya sekarang adalah sebagai mahasiswa jurusan Mikrobiologi. Jadi kalau ada orang bertanya, saya tentu akan jawab nama saya Rahma dan saya seorang mahasiswa jurusan Mikrobiologi. Namun pertanyaannya sekarang adalah, apakah saya puas dengan identitas berlabel 'Mahasiswa Mikrobiologi'? Tidak! Kalau saya puas dengan label tersebut, lalu apa bedanya saya dengan teman sebangku saya yang sama-sama anak Mikrobiologi? Saya tidak bisa bilang bahwa saya adalah seorang ahli Mikrobiologi hanya karena saya mahasiswa Mikrobiologi. Saya juga tidak bisa bilang bahwa saya adalah seorang blogger hanya karena saya punya blog dan menulis satu atau dua artikel dalam satu bulan. Tidak. Ada banyak tahapan yang harus ditempuh untuk menjadikan 'ahli mikroorganisme' dan 'blogger' sebagai occupation saya, sebagai identitas saya. Untuk mendapatlan label sebagai seorang ahli Mikrobiologi saya harus menempuh pendidikan paling tidak hingga jenjang doktor. Saya juga harus banyak melakukan riset dan menerbitkan jurnal-jurnal berkualitas. Sama halnya jika saya ingin menjadikan 'blogger' adalah sebagai identitas maka banyak syarat yang harus saya penuhi. Misalnya pengunjung blog saya minimal sekian ratus ribu orang, saya harus membuat tulisan paling tidak tiga artikel per minggu, dan sebagainya.

Saya dulu sempat kebingungan saat membuat akun LinkedIn karena saya tidak punya sesuatu untuk saya 'persembahkan' sebagai identitas saya kecuali nama.  Saya bisa menuliskan 'Student of Microbiology' pada biodata saya, namun jika saya menuliskan identitas tersebut, saya tidak akan mendapatkan tawaran pekerjaan. Tujuan saya dulu membuat LinkedIn adalah untuk mencari pekerjaan paruh waktu. Jika saya mempromosikan diri saya sebagai mahasiswa Mikrobiologi, tidak akan ada perusahaan yang akan menemukan akun LinkedIn saya. Hubungan antara perusahaan dan pekerja adalah simbiosis mutualisme. And I don't have 'something' to offer to make them pay me.

Beberapa jam kemudian akun LinkedIn saya sudah jadi. Saya mempersembahkan diri saya sebagai seorang translator alias penerjemah untuk English - Bahasa Indonesia. Saya pernah bekerja sebagai freelance translator di salah satu language service di New Delhi selama hampir satu tahun. Saya pikir lumayanlah umtuk seorang amatiran. Beberapa minggu kemudian banyak agen penerjemah yang DM saya dan menawarkan saya pekerjaan sebagai freelance translator. 

Sejak saat itu saya menyadari betapa pentingnya mempunyai sebuah identitas. Semua orang sejatinya sudah punya identitas. Rahma adalah identitas saya, nama saya. Namun saya tidak puas jika orang lain hanya mengenal saya sebagai seorang Rahma. Hanya dengan punya nama, kita tidak bisa bertahan hidup. Tidak akan menjamin kelangsungan hidup dimasa depan karena saya tidak mungking dipekerjakan oleh sebuah perusahaan hanya karena saya punya nama Rahma, kan?

So, tentukan sebuah occupation,pelajari, tekuni, dan jadikan itu identitas kita. 

To be continued . . . .
See You at Seeking Identity - Part 2 . . . !

Tabik,

Rahma S


============================================================================

Seeking Identity (Mencari Identitas) adalah sebuah tema besar dari beberapa tulisan bersambung yang ditulis berdasar ide dan gagasan saya sendiri. Tema besar tersebut saya beri nama Seeking Identity karena mencari identitas bagi saya adalah sebuah life-time job. Tulisan-tulisan tersebut akan banyak terlahir dari pengalaman pribadi yang menurut saya akan sayang untuk saya simpan sendiri. Bukan untuk platform curhat atau berkeluh kesah namun sebagai perantara penyebaran ilmu dan ide.

Kekurangan Kuliah di India ?

June 30, 2017 Add Comment

Dari sekian banyak tulisan tentang kuliah di India, hampir semua yang saya tulis adalah kelebihan-kelebihannya. Sesuai janji saya  di beberapa artikel sebelumnya, saya akan menulis beberapa kekurangan-kekurangan kuliah di India jika dibandingkan dengan kuliah di Indonesia.  

Disclaimer (!)
Saya akan membahas hanya sebatas kekurangan pada sistem perkuliahannya saja. Perlu diingat bahwa semua yang saya tulis adalah opini saya pribadi. Hal yang menurut saya adalah 'kekurangan' bukan berarti juga menjadi 'kekurangan' bagi orang lain. Saya sama sekali tidak ada niat untuk mempengaruhi atau menjatuhkan --pihak tertentu-- melalui tulisan ini. Pada setiap kekurangan yang saya berikan, akan saya tuliskan sisi positif nya juga. Karena sejatinya tidak ada hal yang betul-betul baik atau betul betul buruk. 

Okay let's get started ....!


Masih manual. Saat kita kuliah diluar negeri bayangan pertama yang muncul dipikiran kita adalah ruang kelas yang ber-AC, pengajaran dengan power-point (ppt), atau mesin-mesin peraga yang sangat futuristik. Tidak. Di sini ruang kelas tidak ber-AC (kecuali ruang komputer). Sistem pengajaranpun masih manual yakni kita harus membawa buku catatan. Satu buku catatan untuk satu mata kuliah. Dosen tidak akan menyampaikan materi dengan ppt namun dengan cara mendikte, dan kita akan mencatat. Alhasil, kita akan jarang sekali fotokopi materi. Jangan bayangkan juga cara mendikte dosen India sama dengan cara mendikte pengajar-pengajar Indonesia. Dosen disini selalu mendikte dengan sangat cepat. Kecepatan menulis kita benar-benar akan diuji. 

Sisi positif yang bisa kita ambil adalah, kita akan lebih menghargai proses belajar. Menulis adalah salah satu cara untuk belajar. Apalagi sebelum dosen mendiktekan materi, beliau akan menjelaskan terlebih dahulu sehingga kita paham. 

Lebih ketat. Perkuliahan disini memang jauh lebih ketat dan padat. Kuliah selama 6-7 jam sehari dari Senin hingga Sabtu tentu bukan hal yang mengenakkan.

Dosen disini juga sangat perhatian dengan persentase kehadiran kita. Sekali kita absen kelas, maka pada pertemuan berikutnya akan ditanya oleh dosen tersebut alasan tidak ikut kelas. Apalagi jika kita adalah foreign student maka akan mudah sekali untuk dihafal oleh dosen. 

Say goodbye buat kalian yang hobi jalan-jalan. Simpan dulu jadwal jalan-jalan kalian untuk hari minggu. Hari Minggu pun tak jarang justru kita gunakan untuk beristirahat dirumah karena sudah capek kuliah pagi-sore dari Senin-Sabtu. 

Lebih mengedepankan teori/konsep. Jika kita lihat dari sistem ujiannya sendiri dimana kita harus menuliskan jawaban hingga 25 halaman lebih, sudah bisa dipastikan bahwa ujian tersebut sangatlah teoritis. Untuk jurusan sains sendiri, jenjang S1, hampir 70% masih sangat fokus dengan teori dan buku, which is actually bukan hal yang buruk juga. Namun bukan hal yang baik juga jika dibandingkan dengan Indonesia dimana mahasiswa sudah bisa membuat penelitian sebelum lulus S1. Sedangkan penelitian itu tidak hanya bermodal buku. Untuk jenjang S2 sendiri ada beberapa jurusan yang masih cukup teoritis, walaupun sudah tidak sebanyak jenjang S1. 

Sisi positif yang bisa diambil adalah, ketika lulus dari kampus India, terutama untuk jurusan sains, pemahaman akan dasar-dasar ilmu tersebut akan kuat dan tentu saja akan sangat membantu untuk bekal melakukan penelitian di jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Kita juga akan terbiasa dengan buku-buku tebal dan membaca berjam-jam bukan lagi menjadi hal yang sulit. 
 

Tidak ada skripsi/tesis. Salah satu 'akibat' dari lebih mengedepankan teori adalah tidak adanya pembuatan skripsi atau penelitian untuk syarat kelulusan. Saya sendiri melihat hal ini sebagai suatu kekurangan sebab kita jadi tidak ada pengalaman dalam hal penelitian. Bahkan untuk S2 di India tidak semua jurusan mewajibkan untuk membuat thesis. 

Lalu apa dong syarat untuk lulus? Gampang ! Tiap semester kita hanya diwajibkan untuk lulus di semua mata kuliah. Sounds easy, isn't it? 

Bagi yang sudah membaca tulisan saya tentang Sistem Ujian di Kampus India pasti sudah cukup mengerti bahwa ujian disini tidak lebih mudah dari pada di Indonesia. Menulis jawaban (esai) hingga 25 halaman dalam waktu 3 jam bukanlah perkara mudah.
Sering saya mendapati cerita teman-teman saya yang sedang berjuang dengan skripsi. Bahkan saat saya mudik ke Jogja bulan lalu, saya sempat menghadiri pendadaran salah satu sahabat saya yang kuliah di UGM. Saya hanya bisa menilik dari celah-celah pintu penasaran seperti apa sih pendadaran itu. Oalah...batin saya sambil manggut-manggut.

Momen pendadaran juga merupakan momen yang sangat penting bagi mahasiswa di Indonesia karena disitulah kita dimintai pertanggungjawaban atas skripsi kita. Saking pentingnya, setelah si mahasiswa selesai pendadaran, para teman dekat dan kerabat akan menunggu di depan ruang sidang/pendadaran sambil membawa bouquet atau hadiah kecil. Hal yang tidak akan saya rasakan saat kuliah di India.

Kurang bisa berorganisasi. Ketika saya masih di Indonesia, saya termasuk mahasiswa "kura-kura" alias mahasiswa yang kerjaannya kuliah-rapat kuliah-rapat. Saya memang termasuk organisator sejak masih SMA. 

Keseruan yang pernah saya rasakan saat mengadakan bakti sosial di desa pedalaman sudah tidak pernah saya rasakan lagi semenjak kuliah di India. Mengadakan seminar nasional yang menjadi program kerja unggulan BEM Jurusan saya sekarang sudah nyaris mustahil dilakukan disini. Saya yang dulunya menjadi mahasiswa tukang bolos karena sibuk mengurus program ini itu justru sekarang saya jadi mahasiswa yang anti-bolos. Saya yang dulunya adalah mahasiswa "kura-kura" sekarang menjadi mahasiswa "kupu-kupu" alias kuliah-pulang kuliah-pulang. 

Kampus disinipun sebetulnya ada lumayan banyak organisasi yang bisa kita ikuti. Namun menurut saya pribadi organisasi disini tetap tidak se-challenging di Indonesia. Rata-rata kegiatan yang diadakan oleh student's asociation disini hanya sebatas internal kampus saja. Bagi saya pribadi hal tersebut kurang menantang.

=================================================

Closing Statement:
Terlepas dari semua poin diatas, saya tidak pernah merasa kekurangan-kekurangan tersebut sangatlah berarti. Tidak ada satupun dari poin diatas yang lantas membuat saya, dan teman-teman Indonesia lain, menyesal karena berada disini. Kelebihan-kekurangan pastilah ada dimanapun tempat kita menempuh pendidikan. Jadi, nikmati saja kelebihan yang ditawarkan dan simpan saja kekurangannya.

Congratulation! Untuk teman-teman yang sudah resmi lolos beasiswa ICCR 2017-2018. Untuk yang belum mendapatkan "surat cinta" dari ICCR jangan berkecil hati. Tetap berdoa dan optimis karena LoA selalu diberikan secara berkala mulai Juni - Agustus. Stay positive ! :)


Detik-detik Pengumuman ICCR 2017/2018

May 24, 2017 4 Comments

Persiapan Untuk Para Penerima Beasiswa India ICCR 

Ada cukup banyak email yang masuk ke saya menanyakan kenapa saya sudah lama tidak menulis lagi. Well, alasan nya cukup klasik sih, sibuk ujian. Namun setelah ujian selesai ternyata saya tak kunjung mendapatkan spirit untuk menulis lagi karena saya (hingga) sekarang sedang sibuk liburan. Haha...!

Untuk teman-teman dan adik-adikku yang sekarang di Jogja, bisa kopdar bareng saya. Saya di Jogja sejak minggu ketiga bulan April hingga tanggal 5 Juni. Setelah itu saya harus kembali lagi ke Hyderabad untuk dinas, alias ku-li-ah. 

Tak terasa sebentar lagi kita memasuki bulan Juni. Itu artinya pengumuman ICCR 2017/2018 sebentar lagi ! Perlu diingat bahwa pengumuman ICCR tidak serentak untuk semua mahasiswa namun akan diumumkan secara berkala mulai Juni hingga Agustus. 

Jangan lupa untuk rajin-rajin cek email ya karena pengumuman ICCR selalu diumumkan via email. Namun ada juga yang dihubungi via email dan telepon. Saya termasuk salah satu yang dihubungi via email dan telepon.

Bagi yang salah satu pilihan universitas nya adalah Osmania University (OU) dan Jamia Milia Islamia (JMI), jika diterima, maka biasanya pengumuman sudah keluar pada pertengahan Juni. Bagi yang mendaftar di Delhi University (DU), pengumuman akan keluar sekitar pertengahan Juli. Untuk yang mendaftar di Aligarh Muslim University (AMU) dan Jawaharlal Nehru University (JNU) biasanya pengumuman akan keluar pada bulan Agustus. 

Namun tetap saya sarankan untuk rajin cek email ya, minimal seminggu dua kali. Atau bisa juga aktifkan auto-sync (sinkronisasi) supaya kita langsung mendapatkan notifikasi segera saat ada email masuk. Hal tersebut untuk menghindari keterlambatan dalam mengirimkan Undertaking Letter dan tidak kehilangan kesempatan beasiswa kita. Format Undertaking Letter akan dilampirkan bersama dengan LoA (Letter of Acceptance) melalui email. Batas pengiriman undertaking letter kadang juga ditentukan oleh pihak Kedubes India Jakarta. 

Beberapa persiapan yang akan kita lakukan setelah mendapatkan email LoA dari Kedubes India adalah :

1. Visa

Pertama-tama kita akan diminta untuk melakukan registrasi secara online. Persiapkan semua dokumen yang dibutuhkan untuk registrasi online, seperti paspor, KTP, pas foto (soft-file), Letter of Acceptance, dan itinerary pesawat. Saya sangat menyarankan untuk konsultasi dahulu ke Kedubes India Jakarta bagian Education Wings terkait rekomendasi tanggal keberangkatan. 

Jangan malu untuk bertanya dan menelpon pihak Kedubes India Jakarta. Kumpulkan pertanyaan sebanyak mungkin lalu tanyakan ke pihak kedubes, jangan dikit-dikit telpon karena kurang sopan. Jika sungkan bisa kontak mahasiswa Indonesia yang di India. Kami selalu siap membantu saat ada mahasiswa baru yang membutuhkan bantuan. 

Setelah melakukan registrasi online dan print berkas registrasi tersebut kita harus ke Kedubes India untuk pembuatan visa. Jangan lupa juga untuk melampirkan berkas-berkas yang dibutuhkan untuk pembuatan visa di Jakarta. 

Pengalaman saya, karena saya tinggal di Jogja maka saya mengumpulkan berkas ke Kedubes India pada hari-H keberangkatan saya ke India. Pukul 8 pagi saya sudah di kantor kedubes dan pukul 1 siang saya langsung terbang ke India. Namun saat itu kondisinya memang serba dadakan sebab LoA baru turun akhir Juli. 

Namun jangan khawatir karena setelah kita mendapat LoA pihak kedubes akan menjelaskan pada kita perihal visa dan keberangkatan.

2. Dokumen

Bawalah semua dokumen yang kita gunakan saat mendaftar ICCR dan persiapkan juga foto kopi dokumen. Dokumen seperti ijazah, transkrip nilai, akta kelahiran, KTP, TOEFL, LoA, paspor, visa, dan semua berkas yang dirasa perlu beserta foto kopinya. Bawa juga pas foto dari rumah sebanyak 10 buah. 

Semua dokumen dan pas foto tersebut nantinya akan kita gunakan untuk proses daftar ulang di Foreign Student Registry (Delhi Univ.), University Foreign Registration Office (Osmania Univ.), dan kantor sejenis di universitas lain.

Berkas tersebut juga akan digunakan untuk pembuatan akun bank SBI (State Bank of India), daftar ulang di kantor ICCR, pembuatan Resident Permit (RP), dan sewa kos atau asrama. 

Fotokopi berkas yang paling banyak dibutuhkan adalah paspor, visa, LoA, dan pas foto. Jadi persiapkan foto kopi berkas tersebut agak banyak. Berkas asli dan fotokopi ijazah, TOEFL, dan berkas-berkas akademik lainnya dibutuhkan untuk daftar ulang di universitas.

3. Uang

Jika memungkinkan awalah uang untuk kebutuhan paling tidak dua atau tiga bulan pertama. Tiap bulan ICCR memberikan uang saku sebanyak Rs 10,500 (S1) dan Rs 11,000 (S2) atau sekitar 2,1-2,2 juta Rupiah. Itu adalah patokan standar biaya hidup di India walaupun di kota-kota selain Dehi, Mumbai, Bangalore akan jauh lebih murah. 

Jangan pernah berani bawa Rupiah ke India, karena tidak ada money exchanger yang menerima Rupiah. Tukarkan Rupiah kita ke US Dollar sebelum berangkat. Di bandara Soetta saya pernah menukarkan Rupiah ke Rupees juga. Kalau mau yang universal ya bawa saja dolar hehe. 

Pengalaman saya dulu, karena pertama kali keluar negeri, saya hanya membawa uang 400 ribu Rupiah. Saya sama sekali tidak membawa dolar karena saya saat itu saya memang minim pengalaman dan saya belum tau kalau ada PPI India (Perhimpunan Pelajar Indonesia di India). 

Namun untungnya saya dipinjami uang oleh para senior-senior saya dan boleh numpang gratis di kos mereka selama satu bulan :D

4. Pakaian

Pada bulan Juni – Agustus India sedang mengalami musim summer-monsoon sehingga suhu nya akan sedikit panas dan kadang disertai hujan. Jadi pakaian untuk winter masih belum diperlukan pada bulan-bulan tersebut. Musim dingin akan mulai pada bulan Oktober – Januari. Suhu terendah kota bagian utara seperti Delhi, Aligarh, dan Agra adalah 2 derajat celsius sedangkan di India selatan seperti Hyderabad dan Bangalore sekita 7 derajat celsius.

Tidak perlu membawa baju tebal dari Indonesia karena di India baju-baju untuk winter akan diobral sangat murah hingga 40 ribu Rupiah untuk satu jaket tebal khusus musim dingin. 

5. Makanan

Tidak ada salahnya untuk membawa makanan siap saji dari Indonesia seperti mie instant, ikan sardine kalengan, dsb. Bumbu-bumbu khas Indonesia juga akan cukup berguna bagi yang memerlukan waktu untuk beradaptasi dengan makanan India. Kecap manis, sambal kacang, bumbu nasi goreng, bumbu soto, sayur lodeh, dsb akan sangat berguna. 

Jangan heran jika nanti menemukan mahasiswa Indonesia di India yang langsung hijau matanya saat melihat kalian membawa indom*e, kecap ban*o, sambal terasi, dll sebab barang-barang tersebut bisa dibilang cukup langka di India :D

Makanan India memang kaya akan bumbu dan rempah. Tidak sedikit mahasiswa yang harus beradaptasi dengan makanan India. Namun syukurnya saya makan apapun bisa dan tidak pernah punya masalah dengan makanan India. 

6. Mengontak Mahasiswa Indonesia di India

Ini merupakan salah satu hal yang penting untuk dilakukan sebelum berangkat ke India. Beri kabar kepada salah satu mahasiswa Indonesia di India yang kalian kenal. Siapapun itu. Jika pihak ICCR tidak bisa menjemput kalian di bandara, biasanya teman-teman yang nantinya akan menjemput. 
Jangan pernah meminta bantuan kepada orang India, apalagi jika kalian baru pertama kali ke India dan hanya tau India dari film-film. Pengecualian untuk orang India yang memang terpercaya seperti staf ICCR atau staf kampus. 

Perlu digaris bawahi bahwa India tidak sekejam seperti yang dipaparkan di media namun juga tidak seramah seperti di flm Bollywood.

7. Persiapan Mental dan Berdoa

Perlu diingat bahwa penerima beasiswa adalah orang-orang terpilih. Kompetisi mendapatkan beasiswa itu belumlah seberapa sebab nantinya proses studi kita di India akan jauh lebih sulit. 
Jika kita sudah terbiasa kuliah pakai laptop, membuat tugas dengan laptop, belajar dengan laptop atau fotokopi materi, mulai saat ini kita harus belajar membiasakan diri dengan banyak menulis, banyak membaca buku, rajin ke perpustakaan. Say goodbye to pilgan alias pilihan ganda karena semua ujian di India menggunakan esai yang kita tulis tangan. Esai nya bukan hanya dua tau tiga halaman namun 25 halaman bahkan tidak jarang lebih dari itu.

Perbanyak berdoa dan minta bantuan kepada Tuhan untuk dimudahkan segala urusan saat proses menempuh pendidikan di India. 

Jangan khawatir jika bulan-bulan pertama kita masih belum siap dengan sistem pendidikan yang baru, as time goes by hal itu akan menjadi kebiasaan bahkan kita akan bersyukur karena di gembleng  dengan sistem seperti itu. 


Welcome to India ! :)
By Rahma S

Pelajaran Hidup - Kesempatan Emas yang Terlantar

April 11, 2017 7 Comments
 
Tak banyak yang tahu bahwa saya sebetulnya pernah mengajukan diri untuk pindah jurusan di Delhi University - tentu saja sebelum keputusan pindah kampus menjadi jalan keluarnya. Saya menemui person-in-charge, Mr. Munish Singh, yang mengurusi mahasiswa di ICCR. Saya berdiskusi dengan pihak ICCR terkait masalah saya sekaligus membahas solusi yang saya tawarkan, pindah jurusan ke B.A.

Menjadi mahasiswa B.A buat saya adalah sebuah kemustahilan. Namun jalan keluar praktis saya saat itu supaya cepat kuliah - sekaligus tetap bisa mengantongi nama Delhi University - adalah dengan menjadi mahasiswa B.A. Hati kecil saya saat itu cukup meronta dan belum bisa menerima bahwa saya akan belajar sesuatu yang bukan gue banget. Namun pemberontakan hati saya masih belum sekuat keinginan saya untuk segera bisa kuliah (lagi), walaupun harus mengubur habis cita-cita dan passion saya sebagai mahasiswa sains. 
 
***

Buat saya, Mr. Munish adalah seorang malaikat. Bukan niat beta mau lebay namun  dia lah satu-satunya orang yang bisa membuat saya optimis kembali setelah perjuangan saya yang sangat melelahkan dengan ICCR. Namun sayangnya keberadaan Mr. Munish tidak untuk waktu yang lama. Beliau dimutasi ke kantor ICCR di north-east India. Hingga sekarang pun saya masih merindukan beliau, walau pada akhirnya beliau tidak membantu saya sampai selesai. Namun saya cukup bersyukur sebab beliau adalah satu-satunya orang di ICCR yang sempat membuat saya bersemangat dan berharapan baik tentang hidup (lagi).

***

Mr. Munish sangat mendukung keputusan saya untuk beralih ke B.A. Mendapat dukungan dari ICCR artinya hampir setengah dari masalah saya sudah teratasi, sisanya adalah bagaimana cara saya berurusan dengan pihak rektorat DU.

Saya dikenalkan oleh salah satu dosen Art Faculty di DU. Beliau yang kemudian membantu saya untuk menghadap dan berbicara kepada dekan FSR (Foreign Student Registry) terkait permohonan kepindahan jurusan saya. Namun sayang sekali, kami datang disaat admission sudah tutup sehingga agak mustahil bagi mereka untuk menerima mahasiswa baru - saya mendaftar jurusan yang berbeda, oleh karena itu saya juga dihitung sebagai mahasiswa baru. Pupus sudah harapan saya untuk bisa melanjutkan belajar di kampus kebanggan tersebut. 

Dosen tersebut mencoba untuk membesarkan hati saya dan mengajak saya makan siang di restoran. Langsung saja saya iyakan ajakannya. Saat makan siang, beliau mulai membuat saya merasa tidak nyaman dengan sikapnya. Sejak saat itu saya mulai memutuskan untuk tidak berhubungan lagi dengan beliau dan meyakinkan diri bahwa saya bisa melakukannya sendiri. 

Satu minggu kemudian saya mendapat telfon dari beliau. Saya diamkan saja. Sampai tiga kali beliau menelfon, akhirnya saya non-aktifkan handphone saya. Hari kemudian hal itu terulang kembali. Beliau beberapa kali menelfon kembali. Saya tetap diamkan dan saya matikan handphone saya. Hingga pada akhirnya beliau tidak lagi menelfon.

Beberapa hari kemudian saya merasa bahwa saya tidak mungkin bisa melakukan hal ini sendirian tanpa bantuan dari orang lain. Saya mulai memikirkan untuk menghubungi beliau kembali dan melakukan sedikit kompromi atas sikapnya tempo hari, agar beliau bersedia membantu saya kembali. Saya hubungi beliau lagi dan jawaban yang saya dapatkan sungguh diluar dugaan saya. "Rahma, where have you been? Why didn't you pick up my calls? I wanted to inform you that last time I talked to Dean of FSR again and she agreed to make you B.A. because the admission was extended. But you missed your chance because the admission is now closed." DANG! Saya menangis sejadinya. Saya membiarkan kesempatan emas tersebut menghilang begitu saja. Saya merasa seperti orang bodoh dan ini adalah pertama kalinya saya merasa demikian. Saya merasa tidak punya harapan untuk tetap kuliah di India lagi. Orang tua saya bahkan tidak tahu sama sekali dengan kondisi saya. Saya tidak mau membuat mereka khawatir. Saya memutuskan untuk memberi tahu mereka ketika keadaan sudah membaik dan sekarang bukanlah saat yang tepat. 

Sejak kejadian itu saya mulai memikirkan untuk pulang ke Indonesia. Namun keputusan untuk pulang belum terlalu mantap bagi saya. Akhirnya saya mencoba untuk salat istikharah sebanyak mungkin dan berdoa sesering mungkin. Doa saya saat itu hanya satu, "Ya Allah, jika pulang adalah jalan keluar terbaik maka mantapkanlah hati hamba, namun jika tetap tinggal disini lebih baik bagi hamba maka bantulah hamba menemukan jalan keluar."

Saya menyadari tak ada gunanya meratapi kesempatan yang sudah benar-benar hilang. Saya berusaha mencari sisi positif dari kejadian tersebut. Saya mencoba untuk percaya bahwa Allah Maha Tahu bahwa B.A memang bukanlah passion saya, bukanlah masa depan saya - dan otomatis bukanlah pilihan terbaik untuk saya. Dari situ mungkin Allah ingin menguji kekuatan hamba-Nya. Saya percaya bahwa Allah tidak akan menciptakan seorang manusia dengan tujuan untuk digagalkan. Artinya, jika Allah menciptakan makhluk kecil bernama Rahma, Dia tidak mungkin menciptakannya dengan tujuan menjadikan dia sebagai manusia gagal.

Setelah merenung selama beberapa hari saya tak kunjung mendapatkan kemantapan hati untuk pulang - walaupun hampir semua kawan di Delhi menyarankan saya untuk melanjutkan pendidikan di Indonesia saja. Saya betul-betul tak bisa membohongi kata hati saya sendiri bahwa saya masih harus tetap disini dan berusaha. Saya ingat hari dimana saya mendapatkan LoA beasiswa dari ICCR, saya sudah memutuskan bahwa saya akan mengambil kesempatan itu. Satu hal yang ada dipikiran saya saat mendapatkan LoA tersebut adalah bahwa saya akan ke luar negeri, impian saya sejak kelas 2 SMP. Dan ketika saya sekarang sudah berhasil di luar negri dan dihadapkan dengan masalah ini saya tidak bisa asal melarikan diri dari masalah dengan cara pulang ke Indonesia. Saya merasa saya harus menyelsaikan masalah ini hingga betul-betul tidak ada titik terang lagi. Jiwa saya mulai tertantang kembali.

Ide gila saya muncul. Saya memutuskan untuk bekerja. Sejak kepergian Mr. Munish dari ICCR Delhi, tidak ada seorangpun yang menjadi tumpuan harapan saya saat itu. Saya betul-betul harus bekerja dan berfikir sendiri. Pihak ICCR bahkan sudah tak mau mensuport saya lagi. Saya berusaha untuk mengumpulkan uang untuk biaya kuliah saya sendiri - keputusan untuk belajar di kampus lain pun sudah mulai terpikirkan.

Hari kemudian saya pergi ke Ambience Mall, bukan untuk berbelanja, namun mencari pekerjaan. Saya mendatangi beberapa toko di mall tersebut dan menanyakan jikalau ada lowongan. Beberapa toko yang saya datangi antara lain Starbuck, Zara, Forever 21, bioskop, toko kosmetik, dsb. Beberapa menyambut saya dengan ramah. Starbuck misalnya, langsung menawari saya posisi sebagai seorang barista. Mereka menawarkan gaji sebanyak Rs 15,000 atau setara 3 juta Rupiah per bulan dengan beban kerja 6 hari dalam satu minggu. Saya sampaikan bahwa saya akan memikirkan tawaran tersebut. Saya kemudian mendatangi toko lain kalau-kalau ada yang memberikan saya tawaran gaji lebih tinggi. Saya mendatangi bioskop juga, dan lowongan pun tersedia untuk saya. Bahkan jika saya mau, besok pun saya sudah bisa bekerja disana. Namun gaji yang mereka tawarkan hanya Rs 10,000 atau 2 juta rupiah per bulan. Dari sekian banyak toko yang saya datangi, dua toko itulah yangs secara positif menerima saya, sisanya hanya menyuruh saya untuk mengirimkan CV ke email HRD. 

Pagi harinya saya mulai mempersiapkan CV untuk saya bawa ke Starbuck sebagai syarat melamar pekerjaan. Namun belum sempat saya pergi ke Starbuck saya sudah dihubungi oleh staf Atdikbud KBRI bahwa mereka sedang membutuhkan tenaga tambahan untuk membantu pekerjaan kantor dan menawari saya magang (lagi) selama 3 bulan - sebelumnya saya pernah magang disana selama satu bulan. Saya sangat girang mendapatkan berita tersebut dan akhirnya saya langsung menuju KBRI. Resume yang sebetulnya akan saya gunakan untuk melamar pekerjaan di Starbuck akhirnya saya gunakan untuk mendaftar magang disana. 

Banyak hal yang akan saya pelajari disana. Belajar tentang pembukuan keuangan bulanan, bertemu dengan pejabat-pejabat besar dari India, belajar akan sistem perkantoran, belajar membalas email - ya, membalas email, belajar mengangkat telfon, membuat perencanaan kegiatan, dsb adalah 'makanan' sehari-hari saya. Itu adalah momen pertama kalinya saya tidak menyesal pernah aktif menjadi seorang organisator di kampus lama di Jogja. Menjabat di organisasi ini itu memberikan saya sedikit bekal untuk berurusan dengan dunia administrasi dan perkantoran. 

Saya juga mengajukan diri sebagai seorang penerjemah ke beberapa perusahaan penerjemah di India. Saya melamar sebagai freelance translator untuk English - Bahasa Indonesia dan sebaliknya. Saya mengumpulkan informasi hampir 25 perusahaan penerjemah di India. Saya kumpulkan email mereka dan saya kirimkan CV saya ke 25 perusahaan tersebut. Dari ke 25 perusahaan, hanya satu yang akhirnya menerima saya dan bekerja dengan saya hingga sekarang. Sisanya tidak membalas email saya sama sekali. Saya mendapatkan posisi sebagai freelance translator, hinga sekarang, dan tambahan penghasilan yang saya dapatkan juga bisa dibilang lumayan, mengingat saya bisa melakukan pekerjaan tersebut di kamar dan hanya bermodal kamus digital.

Saya mulai bisa merasakan bahwa Allah sudah mulai membukakan jalan untuk saya belajar lebih luas lagi - tidak hanya sekedar belajar di kampus. Tidak ada jalan lain kecuali bersyukur dengan yang sudah terjadi. Saya bahkan bersykur pernah kehilangan kesempatan emas tersebut, karena saat ini saya bisa belajar apa yan memang menjadi passion saya, sains. Belajar buat saya menjadi sebuah kenikmatan jika saya memang cinta dengan yang saya pelajari. Saya bisa merasakan nikmatnya masih bisa kuliah, karena sebelumnya saya pernah berada pada titik dimana saya tidak bisa belajar sama sekali. Saya sudah tidak lagi mengeluh karena letihnya belajar atau kuliah, karena sebetulnya jauh lebih meletihkan saat tidak mendapat kesempatan untuk belajar.  

Saat ini saya sedang proses menyelsaikan membaca buku Mastery oleh Robert Greene. Singkatnya, Greene mengajarkan kita how to be a master of something. Tidak hanya sekedar teori yang dijelaskan namun lebih banyak pada kisah-kisah para The Masters, seperti Mozart, Marie Curie, Albert Einstein, Charles Darwin, dsb. Dari semua kisah-kisah para master tersebut, satu hal yang dipunyai oleh semua master adalah passion. Passion yang dimaksud disini adalah lebih kepada inner calling  atau inclination  atau kecenderungan kita terhadap sesuatu. Para master tersebut mengikuti inner calling mereka dan diwujudkan dalam ketekunan. Tahap paling awal yang menjadi modal utama untuk menjadi master dalam sesuau adalah, kita harus menemukan inner calling tersebut. Inner calling bersifat bebas dan tidak terpengaruh pada hal-hal lain seperti uang, jabatan, atau kekayaan. Beberapa hari ini saya merenungi dan mencoba untuk memunculkan inner calling  tersebut dari diri saya. Saya meyakini bahwa inner calling saya memanglah hal-hal yang mengarah pada sains, saya sangat senang melakukan observasi terutama dengan mikroskop. Inner calling tersebut kini semakin jelas dan nyata. Jika ingat kejadian lama yang saya alami, saya merasa sangat bersyukur pernah kehilangan kesempatan emas tersebut. 

***



[Personal Review ] Best 9 Worth Watching Bollywood Inspiring Movies

February 12, 2017 2 Comments

Membahas India tidak akan lengkap tanpa  film India. Industri film terbesar kedua di dunia, Bollywood, sudah tidak asing lagi untuk kita semua. Saya bukan pecinta film India. Saya bahkan sebetulnya bukan pecinta film dimana saat ada film baru tayang saya akan langsung ke bioskop atau minimal ya cari streaming online. Tidak. 

Hanya ada dua jenis film yang saya suka dari dulu hingga sekarang. Film biografi dan film inspirasi.  

Believe it or not, I haven't watched Harry Potter. And believe it or not, my professor was even surprised knowing that I was the only student in class who hadn't watched that movie. Actually I am just not interested in magical things and stuffs. 

Film India menurut saya lumayan keren-keren. Banyak sih sebetulnya film India yang menurut saya nonsense and sampah , tapi sekalinya film nya bagus biasanya akan bagus banget.
Oke kembali ke film India. Jika kalian berfikir bahwa film India hanya tentang cinta, well, sorry you are wrong. Berikut adalah daftar 10 film India yang menurut saya wajib tonton. Saya tidak sedang membuat daftar film cinta, walaupun di beberapa film ada bumbu-bumbu romantika but it's okay karena itu tidak mendominasi. 


#9. Tara Rum Pum - dibintangi oleh Saif Ali Khan dan Rani Mukherjee. Dalam film ini Saif memerankan seorang pembalap mobil F1 terbaik bernama Rajveer Singh (RV). Rajveer dulunya seorang tukang pengganti ban untuk para pembalap F1 namun akhirnya dia bisa menjadi pembalap terbaik. Klimaks film ini ketika RV mengalami kecelakaan saat balapan disebabkan oleh rival nya yang iri dengan RV. Sejak saat itu RV mengalami gangguan kepala dan mengalami trauma menyetir. Dia dan istrinya, Rani Mukherjee, sempat dalam masalah ekonomi karena RV kehilangan pekerjaannya sebagai pembalah yang menyebabkan mereka mengalami krisis ekonomi. Saat itu keadaan keluarga RV betul-betul kritis karena anak mereka masuk rumah sakit dan pekerjaan RV sebaai tukang supir taksi tidak mencukupi. Dia pun akhirnya berusaha kembali untuk bertanding demi mendapatkan hadiah untuk membiayai rumah sakit anaknya. Usahanya untuk bertanding (lagi) pun tidak mudah karena ia harus melawan trauma nya dan harus melawan rival lama yang dulu mencelakainya saat bertanding.

Film ini menurut saya bagus untuk ditonton bagi mereka yang sedang membutuhkan motivasi hidup (seperti saya). LoL :D

#8. Sultaan - ini adalah film tahun 2016. Saya nonton film ini di salah satu bioskop di Delhi. Pemeran utamanya adalah Sultan Ali Khan (Salman Khan) dan Aafra Hussain (Anushka Sharma). Dalam cerita tersebut Sultan dan Aafra adalah pasangan pegulat (wrestling) terbaik. Mereka suami isteri.

Ceritanya mulai seru ketika Sultan dan Aafra juara gulat tingkat nasional dan lolos untuk maju ke Olympic. Berhubung saat itu Aafra sedang hamil jadi dia nggak bisa lanjut ke Olympic dan akhirnya Sultan sendiri yang maju dan dia menang. Namun sayangnya kemenangan dia membuat dia sombong bahkan saat istrinya melahirkan pun dia lebih memilih untuk jumpa pers (seingat saya). Ternyata oh ternyata bayi nya meninggal karena anemia. Sultan merasa bersalah dan mengutuk dirinya sendiri. Sejak saat itu dia bertekat untuk mendirikan Bank Darah. Perjuangannya mendapatkan dana untuk mendirikan Bank Darah benar-benar amazing banget sampai saya nangis *hiks

Best time to watch Sultaan : saat kalian merasa ingin menyerah dalam hidup, tontom film ini. Karena perjuangan mati-matian Sultan di film ini sangat terlihat. 


#7. Swades -  Film ini dibintangi oleh Shah Rukh Khan dimana dia adalah seorang manajer projek NASA. By the way, syutingnya benar-benar di NASA lho ! Suatu ketika dia pulang ke India untuk cuti dan mengunjungi Kaveri Amma, pembantu dirumah yang merawat SRK sejak kecil. Dia merasa prihatin melihat desa tempat tinggal Kaveri Amma tidak ada akses listrik. Jangankan listrik, sekolah saja masih langka. Dia akhirnya memutuskan untuk mengakhiri karirnya di NASA dan mengembangkan desa tersebut dengan membangun sumber listrik dari tenaga air. Dia juga membantu pembangunan sekolahan di desa tersebut.

Hal yang membuat film ini cukup inspiring adalah, SRK rela meninggalkan semua kemapanan dan karir nya di NASA demi kepentingan rakyat desa nya.

Film ini cocok ditonton oleh orang Indonesia diluar negeri yang nggak mau pulang ke Indonesia karena sudah mapan di negeri tetangga.


#6. 3 Idiots - film yang sempat booming di Indonesia ini saya yakin udah banyak yang tahu. Bintang utama film ini adalah Aamir Khan, Kareena Kapoor, Madhavan, dan Sharman Joshi. Film ini bercerita tentang tiga orang sahabat; Rancho, Raju, dan Farhan. Mereka adalah mahasiswa teknik di kampus teknik terbaik di India. Rancho (Aamir Khan) adalah mahasiswa yang selalu mendapatkan ranking pertama di kampus nya. Sedangkan Raju dan Farhan selalu peringkat paling bawah. Keluarga Raju amat miskin dan dia menjadi tumpuan harapan keluarganya. Farhan adalah seorang fotografer namun terpaksa kuliah teknik demi memenuhi harapan ayahnya.

Pada film ini Rancho selalu mengatakan bahwa jadilah apapun yang kamu suka. Saya merasa film ini cukup menjadi sindiran bagi rakyat India sendiri. Pasalnya di India, semua orang berburu ingin sekolah di teknik atau kedokteran dalam rangka untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Tak jarang pula yang mengorbanka passion mereka demi mendapatkan pekerjaan.

Moral value : do what you love !


#5. Tare Zameen Par (Like Star on Earth) - Saya rasa film ini juga sudah lumayan populer di Indonesia. Film ini menceritakan tentang seorang murid sekolah dasar, Ishaan, yang mengalami dyslexia. Dia tidak pernah mampu untuk belajar dengan baik karena gangguan tersebut. Ayah Ishaan sosok yang cukup keras yang memutuskan untuk menempatkannya di asrama (boarding school) agar dia bisa belajar dengan baik. Ishaan sebetulnya tidak ingin sekolah di asrama karena harus berpisah dengan keluarganya dan guru-guru di asrama biasanya cukup keras.

Suatu ketika ada seorang guru baru (Aamir Khan) di asrama tersebut. Dia mengajar pelajaran seni. Dia menyadari bahwa Ishaan adalah anak yang bermasalah. Dia kemudian mencari tahu tentang Ishaan dan mengetahui bahwa Ishaan menderita dyslexia yang menyebabkan dia kesulitan dalam belajar. Guru baru tersebut berusaha mendekati dan membantu Ishaan dan menyadari bahwa Ishaan sangat pandai melukis.

Satu hal yang disampaikan oleh Aamir Khan pada film tersebut adalah bahwa setiap anak adalah unik seperti layaknya bintang. Setiap anak mempunyai keunikan masing-masing yang tidak bisa disamaratakan.


#4. My Name is Khan (and I am not a terrorist) -  Film ini rilis saat saya masih SMA. Ini menjadi salah satu film terpopuler di kalangan orang Indonesia karena film ini sudah sering ditayangkan di televisi lokal. Inti cerita dari film ini adalah, Rizwaan Khan (Shah Rukh Khan) seorang autis yang cerdas yang berusaha menemui Presiden Amerika untuk menyampaikan pesan bahwa dia bukanlah seorang teroris. Alasan dia ingin menyampaikan pesan tersebut adalah kematian anaknya yang menyebabkan istrinya, Mandira (Kajol) merasa hancur. Mandira adalah seorang Hindu sedangkan Rizwaan adalah Muslim. Mandira berfikir bahwa kematian anakya disebabkan karena suaminya adalah seorang Muslim yang mana di Amerika saat itu sedang berduka akibat serangan gedung WTC oleh teroris. Mandira dengan kondisi masih terpukul saat itu meminta Rizwaan untuk pergi menemui presiden dan mengatakan bahwa Rizwaan adalah seorang Muslim dan dia bukanlah seorang teroris. 

Perjalanan Rizwaan Khan menemui Presiden Amerika sangatlah sulit. Dia bahkan sempat dipenjara dan menjadi pusat amukan masyarakat saat itu. 


#3. Chak De India  - Dibintangi oleh Shah Rukh Khan, yang berperan sebagai Kabir Khan, seorang pemain hokey nasional. Karir Kabir Khan sempat hancur karena kesalahpahaman akibat media yang memberitakan bahwa dia sudah mengkhianati negaranya sendiri dalam pertandingan hokey antar negara India vs Pakistan. Dia dan ibunya bahkan diusir dari tempat tinggalnya sendiri.

Kabir Khan kemudian mendirikan klub hokey perempuan dimana dia sebagai pelatihnya. Banyak cemooh dan kritikan dari banyak pihak. Mendirikan klub hockey pun tidak mudah karena masalah internal yang dihadapi oleh tiap pemain. Dengan kerja keras akhirnya Kabir Khan membawa klub hokey nya menjadi juara di ajang hokey internasional di Australia.

#2.  Bajrangi Bhaijaan - Film ini berkisah tentang seorang anak yang bisu berusia 6 tahun berkebangsaan Pakistan bernama Sahida yang tersesat di India saat ibunya hendak mengantarkannya ke New Delhi menemui tabib yang mampu membuat orang bisu bisa berbicara. Saat di India dia bertemu dengan seorang Hindu bernama Bajrangi (Salman Khan). Sahida sendiri adalah Muslim karena dia berkebangsaan Pakiskan. Bajrangi merasa kasihan melihat Sahida sendirian tersesat. Dia berusaha mencari tahu dari mana Sahida berasal. Membutuhkan waktu yang sangat lama untuk mengetahui tempat asal nya karena dia bisu. 

Bajrangi pun kaget ketika tahu bahwa Sahida adalah seorang Pakistan. Bagaimanapun juga dia tetap bertekad untuk mengantarkan Sahida pulang ke tempat asalnya di Pakistan. Perjalanan Bajrangi mengantarkan Sahida pulang sangat beresiko tinggi dan nyaris mustahil. Pasalnya Sahida saat itu tidak memegang pasport Pakistannya sehingga orang-orang di Kedutaan Besar Pakistan - New Delhi pun tidak percaya bahwa Sahida berasal dari Pakistan. Bajragi sendiripun tidak bisa mendapatkan visa ke Pakistan karena saat itu kantor Kedutaan Besar Pakistan sedang rusuh. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi ke Pakistan tanpa paspor dan visa. 


#1.  P.K - Dari semua film India yang sudah saya tonton, ini adalah film India terbaik menurut saya. Film ini memaksa kita untuk menjadi orang yang kritis terutama dalam hal beragama. Film yang dibintangi oleh Aamir Khan sebagai PK dan Anushka Sharma sebagai Jaggu, seorang wartawan televisi lokal India, memang sempat kontroversi terkait poster film tersebut. Namun akhirnya sang sutradara bisa membuktikan kualitas film PK dan hingga sekarangpun PK masih menjadi film terbaik. 
Peekay (PK) adalah seorang makhluk dari planet lain yang datang ke Bumi untuk melakukan penelitian. Dia datang ke Bumi dalam kondisi telanjang sebab di tempat asalnya dia tidak mengenal pakaian. Dia bisa mendengar namun tidak bisa berbicara karena di planet tempat tinggalnya semua makhluk berkomunikasi dengan pikiran. Suatu ketika remot kontrol milik PK dicuri oleh manusia yang menyebabkan dia tidak bisa pulang ke tempat asalnya. Dia kemudian pergi mencari remot kontrolnya tersebut. Dia belajar banyak hal dalam pencariannya seperti belajar bahasa, belajar berbicara, belajar mengenal uang, dsb. Dia bertanya pada banyak orang dimana dia bisa menemukan remot kontrol nya dan hampir semua menjawab bahwa hanya Tuhan yang tahu dimana remot kontrolnya. Dari situlah dia mulai mencari-cari siapa itu sebenarnya Tuhan dan mengapa semua orang sangat memuja-muja Tuhan.


Itu tadi sembilan daftar film terbaik versi saya sendiri. Jika tidak saya saring lagi mungkin bisa saja ada sekitar 15 film inspirasi. Perlu diingat bahwa kesembilan film tersebut benar-benar film pilihan yang menurut saya cukup memberikan pengaruh. Film diatas tidak termasuk film romantika ya. Sebetulnya banyak juga film romantika India yang bagus namun saya simpan untuk lain waktu saja.

Apa bedanya Kuliah di Indonesia dan India??!

February 04, 2017 2 Comments

Pernah nonton film "3 Idiots" ? Itu adalah salah satu film India yang sempat booming di Indonesia beberapa tahun yang lalu. Sebenernya film itu lumayan mencerminkan sistem pendidikan disini sih dimana belajar menjadi salah satu sumber pressure disini. 

Oh iya, kali ini aku pakai bahasa yang lebih casual aja ya. Bosen pake bahasa formal terus.

Sebelumnya aku mau kasih tau kalau aku sempat kuliah di Indonesia selama setahun. Jadi ya aku lumayan punya pengalaman soal perkuliahan di Indonesia. 

Tulisan ini murni dari pengalaman aku sendiri. Jadi aku akan lebih menceritakan perbedaan diriku saat kuliah di Indonesia dan diriku saat kuliah di India dalam hal cara belajar dan kehidupan perkuliaan. Perlu diingat juga bahwa tulisan ini nggak bisa jadi standar karena pengalaman tiap orang beda-beda, namun bisa dijadikan salah satu referensi.  

Semua poin yang aku tulis dibawah adalah hal-hal yang menurutku masuk dalam kategori kelebihan. Bisa jadi menurut kalian hal-hal berikut justru malah menjadi kekurangan, which is totally fine. Everyone has opinion

Aku bikin tulisan ini bukan berarti aku jelek-jelekin Indonesia. Bukan. Jujur aja, aku kuliah disini juga murni dalam rangka supaya bisa berkontribusi untuk pembangunan Indonesia terutama dalam hal saintek nya. So, buat ngimbangin, kapan-kapan aku buat tulisan tentang kekurangan kuliah di India. Got it? Okay let's get started !

Bahasa Indonesia vs Bahasa Inggris
Bahasa, adalah salah satu perbedaan yang paling kentara yang aku hadapi pertama kali. FYI, India dulu bekas jajahan Inggris, jadi nggak heran kalau rakyatnya banyak yang fasih berbahasa Inggris. Tak heran pula Bahasa Inggris menjadi bahasa resmi pemerintahan, pendidikan, politik, dll. Yang aku rasakan saat pertama kali kuliah di India adalah, aku belum terbiasa dengan scientific English. Percaya atau nggak, kemampuan scientific English ku bisa dibilang nyaris nol. Secara di Indonesia semua istilah-istilah sains sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Misal, dalam bahasa Indonesia kita menyebut Alkana, Alkena, dan Alkuna. Nah, dalam bahasa Inggris adalah Alkane, Alkene, Alkyne. Jauh banget kan bedanya?

Jam Kuliah Indonesia vs Jam Kuliah India
Terkait jam perkuliahan, aku akan cerita lebih banyak untuk yang jenjang undergraduate aja alias S1 karena untuk jenjang tersebut jam kuliahnya memang beda. Kalau kuliah di universitas di Indonesia biasanya jam perkuliahan nggak saling berurutan kan ya? Misal hari Senin kuliah cuma jam 10.00 sama jam 14.00, gitu kan ya? Nah, untuk jenjang S1 disini kuliah betul-betul full day hampir mirip kayak SMA. Kalau aku sendiri kuliah dari Senin - Sabtu jam 10.00 sampai jam 16.30, kecuali hari Sabtu cuma sampai jam 15.30 (tapi tetep aja sore sih). Hari Senin sampai Jum'at ada 4 kelas teori dan 1 kelas laboratorium. Satu kelas teori biasanya 60 menit dan untuk lab selama 120 menit. Hari Sabtu kita sama sekali nggak ada lab, jadi cuma kelas teori aja sampe jam 15.30. 

Powerpoint vs Mencatat
Selama aku kuliah di Indonesia aku jarang banget punya catatan. Kita biasanya cuma ngandelin fotokopian ppt dosen. Sebenarnya aku nggak suka kuliah diajarin pake ppt karena kadang ada dosen yang cuma asal baca ppt doang. Sebel. Kalau di India? Berhubung di India sistem nya adalah note-oriented (S1 maupun S2), jadi selama 60 menit perkuliahan, sekitar 40 menit dosen akan menjelaskan dan 20 menit beliau akan mendikte catatan untuk kita. Kita dilarang untuk mencatat saat dosen menjelaskan karena penjelasan dosen kaitannya dengan pemahaman. Selama 20 menit mencatat tersebut, biasanya kita bisa menulis sekitar 4-5 halaman, itu baru satu mata kuliah. Aku pribadi lebih suka dengan metode mengajar yang seperti ini. Manual.


Internet vs Buku
Saat aku masih kuliah di Indonesia, kehidupan belajar ku selalu via internet. Belajar apapun dari internet. Dikit-dikit wikipedia. Kalau ada tugas membuat makalah, pasti sumber pencarian utama adalah internet. Mending-mending kalau ngerjakan makalahnya pakai ebook atau jurnal, lha ini aku ngerjakan makalah nyontek blogspot orang lain. Kayak gitu aja aku masih bisa dapet IPK 3,65. Heran. 

Lalu bagaimana setelah di India? Betul sekali. Untuk urusan kuliah, aku udah jarang banget buka internet. Sumber utama belajar ya buku. Perpustakaan. Hampir semua mahasiswa disini juga begitu. Kalau dosen memberi tugas, langsung kita larinya ke perpustakaan. Btw, dikelas ku nggak ada yang bawa laptop. Sebagai gantinya yang dibawa kemana-mana ya buku. Jadi ya nggak heran kalau teman-temanku tas nya pada gede-gede semua. Ya bisa dibilang kalau mahasiswa disini book-oriented banget.

Nah, kalau ada tugas bagaimana? Kalau tugas ya kita tulis tangan. Satu tugas kita bisa nulis 15-20 halaman. Makanya dosen kita kalau ngasih tugas minimal dua minggu sebelumnya. Tugas yang diberi oleh dosen rata-rata sulit, dalam artian kita harus cari dari beberapa buku, kita pelajari satu-satu, lalu kita kumpulkan informasi-informasi yang berkaitan baru kita tulis di kertas HVS A4.


Sistem Kebut Semalam vs Sistem Kebut Sebulan
Jaman aku di Indonesia, belajar pake Sistem Kebut Semalam (SKS) masih memungkinkan. Aku bahkan bisa dengan gampang dapet IPK 3.65 dengan metode kebut semalam. Nah, kalau di India kita masih pakai sistem kebut semalam, jangan harap kita lulus. Aku pernah tulis artikel tersendiri tentang sistem ujian di kampus India. Disitu kalian bisa baca kalau ujian di India jauh beda dengan Indonesia. Nilai maksimal ujian semester adalah 70 out 70. Sejak awal kita sudah diberi tahu oleh dosen bahwa sepinter-pinternya kita, nggak mungkin kita bisa dapet full-mark alias 70 out of 70. Lho kok gitu? Kenapa? Baca poin selanjutnya :D

LJK vs Esai
Sejak aku masih SMP sampai kuliah, ujian apapun selalu pakai LJK. Kalaupun esai paling banter ya dua halaman. Kalaupun nggak pake LJK, ya at least pilihan ganda (pilgan). Tapi kalau kalian kuliah di India, jangan pernah harap ujian pake LJK. Karena disini ujian semuanya esai. Pertanyaannya biasanya ada 10 dan jawabannya bisa sampai 25-30 halaman tulis tangan selama 3 jam dikerjakan ditempat tanpa istirahat. So, udah tahukan kenapa kita nggak bisa pake metode kebut semalam untuk persiapan ujian? 

Kalau nyontek memungkinkan nggak? Nah, kalau mau nyontek juga susah secara jawabannya esai semua. Satu pertanyaan jawabannya bisa sampai 5 halaman, belum lagi kita diminta gambar atau bagan. Penjaga ujian disini nggak kayak di Indonesia, rata-rata penjaga ujian kerjaannya malah ngobrol. Disini penjaga ujian benar-benar ajeg keliling. 

Seriusan deh, ujian semester di India itu berasa seperti UNAS jaman SMA, dalam hal tingkat pressure yang aku hadapi. Karena kalau kita bener-bener no idea sama pertanyaan yang diajukan, ya kita mau nulis apa coba? Kalau pilgan kan masih mending ya kita bisa ngitung kancing. Kalau esai kita mau ngitung apa coba? Ngintung awan? Dan lagi, kita benar-benar harus persiapan jauh-jauh hari buat UAS. FYI, lembar jawab ujian disini dalam bentuk buku/bendel. Satu bendel isinya 25 halaman. Bisa dibilang lembar jawab nya itu seperti buku tulis dengan tebal 25 halaman.

Skripsi vs No-skripsi
Sudah menjadi rahasia umumlah kalau mau lulus S1 di Indonesia kita wajib untuk melakukan TA (tugas akhir) dalam bentuk skripsi. Untuk jenjang S1 semua jurusan di India nggak ada skripsi, enak kan? :D Tapi ya itu sebagai gantinya kita tiap semester harus nulis esai di ujian berpuluh-puluh halaman selama 6 semester. Kalau dipikir-pikir, esai yang kita kerjain selama kuliah di India jika dikumpulkan mungkin udah bisa jadi skripsi kali ya? Walaupun kuliah S1 di India rata-rata hanya 3 tahun tapi nggak sedikit kok mahasiswa yang sampe molor lulusnya gegara ada mata kuliah semester sebelumnya yang failed. Di India kalau misal kita nggak lulus di mata kuliah semester ganjil, maka kita wajib ikut ujian lagi untuk mata kuliah tersebut di semester ganjil tahun depan. Jadi kita harus nunggu setahun cuma buat ngulang ujian. So, nggak heran kalau banyak mahasiswa yang lulus nya sampe molor bertahun-tahun, bahkan mahasiswa Indonesia sekalipun.  Di India ini kalau nggak lulus ya nggak lulus

Aku pribadi sih menganggap itu suatu kelebihan. Sebab di jenjang S1 ini kita memang lebih dipersiapkan dan dimatangkan teori dan konsep nya ketimbang penelitian. Namun kalau kita mau membuat penelitian sendiri ya sangat memungkinkan dan dosen kita biasanya akan membantu. Aku sih rencananya lulus S1 dari India ini udah punya satu penelitianku sendiri mumpung dosen ku hampir semua udah pada post-doc jadi bisa minta bimbingan, ya itung-itung bisa buat proposal S2 ku nanti ha..ha..

Okay, sampai disini dulu ya obrolan kita. Sekian dulu. See you soon.. Au revoir ! :))