Graduation Ceremony by PPI Hyderabad |
Saya merasa kuliah di India
merupakan batu pijakan untuk bisa kuliah di Eropa. Jarang sekali ada beasiswa
S-1 luar negeri. Oleh karena itu ketika ada pembukaan beasiswa India untuk S-1
sampai S-3 tanpa banyak basa-basi saya langsung mendaftar.
India dalam Sejenak
India, negara berpenduduk lima kali lebih
banyak dari pada Indonesia, sesungguhnya (dan memang sebetulnya) mempunyai
ikatan cukup erat dengan Tanah Air beta. Walaupun latar belakang saya
adalah sains, tapi saya pernah kok kenalan
dengan cabang ilmu yang disebut Sejarah. Si Sejarah bercerita bahwa mantan Perdana Menteri India, Pandit
Jawaharlal Nehru, pernah berkarib dengan Ir. Soekarno. Mungkin tak boleh
dilupakan juga bahwa Bahasa India kuno, Sansekerta, pernah diadopsi oleh negara
kita dalam rangka pemberian nama Indonesia.
Selain Bollywood, banyak ‘kemewahan’
yang ditawarkan oleh negara ini. Siapa yang sangka bahwa Negeri Pak Gandhi ini
pernah melakukan Mars Orbiter Mission
termurah? Tak hanya itu, sembilan warga negara India pernah menerima
penghargaan Nobel. Angka yang bisa dibilang lumayan untuk negara yang (masih)
berkembang. Mantan negara jajahan Inggris ini juga tak kalah saing di dunia Multinational Corporation. Tak sedikit
nama-nama India yang masuk dalam jajaran CEO, seperti Satya Nadella (CEO
Microsoft), Shantanu Narayen (CEO Adobe) dan lain sebagainya. India juga sudah punya angkutan umum metro atau
subway yang sangat bagus dan murah.
Mobil asli India, Tata Nano, pun sudah ‘berkeliaran’ dimana-mana. Dua bandara
internasional India, Indira Gandhi International Airport (New Delhi) dan
Chhatrapati Shivaji International Airport (Mumbai) tahun 2015 lalu dinyatakan
sebagai bandara terbaik kedua se-Asia Pasifik setelah Singapore Changi Airport.
Kuliah Bak Kacang Goreng
Secara umum biaya pendidikan kampus negeri di India
lebih murah dari pada kampus negeri di Indonesia. Tak sedikit mahasiswa
Indonesia dan mahasiswa asing dari Thailand, Cina, Korea Selatan belajar di
India tanpa beasiswa alias self-financing
lataran biaya pendidikan dan biaya hidup yang murah. Saya ambil contoh
Delhi University, universitas terbaik di India, untuk jurusan sains hanya
mematok biaya Rs 19.000 (± Rp 4 juta) per tahun. Untuk jurusan ilmu sosial
mahasiswa hanya perlu membayar Rs 7.000 (± Rp 1.4 juta) per tahun untuk jenjang
S-1 dan Rs 13.000 (± Rp 2.6 juta) per tahun untuk jenjang S-2. Kampus favorit
lain adalah Jawaharlal Nehru University (JNU)
yang hanya mematok biaya maksimal USD 750 per tahun untuk program sains jenjang
S-2 dan S-3. Biaya tersebut adalah biaya untuk mahasiswa asing. Untuk warga
lokal sendiri, di JNU, cukup dengan Rs 300 (± Rp 60 ribu) per tahun sudah bisa
kuliah S-2. Kampus JNU hanya membuka program S-2 dan S-3.
Selain biaya kuliah yang sangat
murah, biaya buku pun tak kalah murahnya. Kami mahasiswa Indonesia tak perlu
lagi repot-repot mencari buku bajakan. Untuk kualitas buku tak perlu diragukan.
Buku-buku terbitan Oxford University Press, Cambridge University Press, Mc Graw
Hill, Willey, sudah bisa ditemukan dimanapun bahkan di toko buku kecil
sekalipun. Buku Microbiology oleh J.
Pelczar, JR terbitan Mc Graw Hill Education setebal hampir seribu halaman bisa
didapat hanya dengan Rp 135 ribu. Buku-buku terbitan India sendiri juga tak
kalah bagusnya. Buku-buku kuliah terbitan India rata-rata ditulis oleh para dosen
yang sudah S-3 bahkan postdoctoral. Rata-rata
aktivitas dosen-dosen disini selain mengajar adalah menulis buku. Tak sedikit
dosen saya yang sudah menerbitkan banyak buku. Saya pribadi lebih senang dengan
buku-buku karangan dosen India karena harganya lebih murah, walaupun buku
terbitan internasional juga murah, dan penggunaan Bahasa Inggris yang lebih
simpel sehingga mudah dipahami.
Menimba Sains di India
Saya masih ingat hari pertama
kuliah, jujur saja, saya merasa seperti orang yang tidak pernah sekolah. Hal
pertama yang cukup membuat saya syok adalah scientific
English. Selama saya sekolah di Jogja, fokus saya belajar Bahasa Inggris
hanya sebatas kemampuan berkomunikasi secara umum. Kalau saya tidak kuliah di
India mungkin saya tidak akan pernah tau bahwa Bahasa Inggris nya Alkana adalah
Alkane, Alkena adalah Alkene, and Alkuna adalah Alkyne. Itu hanya sebagian
kecilnya saja. Hingga sekarang saya masih terus belajar untuk itu. Teman saya
orang Indonesia yang juga anak sains pun menghadapi permasalahan yang sama
terkait scientific English. Walaupun
saat itu saya dan teman-teman India saya sama-sama baru lulus SMA, namun saya
merasa pengetahuan mereka khusunya tentang sains jauh melampaui saya. Padahal
saat di Indonesia, saya sekolah di SMA negeri di Yogyakarta, yang notaben nya
adalah Kota Pendidikan, dan sekolah saya termasuk lima besar SMA negeri terbaik
di DIY saat itu.
Satu hal yang cukup
menggembirakan tentang India bagi para penggemar ilmu eksak adalah spesifikasi
jurusan. Jurusan ilmu alam untuk jenjang S-1 di India menurut saya cukup
variatif. Tidak hanya sekedar Biologi, Kimia, atau Fisika namun sudah lebih
spesifik seperti Genetics, Biotechnology, Microbiology, Biochemistry,
Biomedical Sciences, Botany, Zoology, Molecular Biology, dsb. Saya pernah cek
di NTU dan NUS untuk jurusan sains jenjang S-1 dan S-2 tak sevariatif disini.
Sistem jurusan interdisipliner
pun tersedia di kampus India. Misal di kampus saya sendiri ada beberapa
kombinasi jurusan yang bisa diambil antara lain Microbiology, Genetics, and
Chemistry (MGC), Microbiology, Biochemistry, and Chemistry (MBiC),
Biotechnology, Genetics, and Chemistry (BtGC), Mathematics, Physics, and
Computer (MPC); Electronics, Mathematics, and Computer (EMC), dsb. Saya pribadi
melihat sistem jurusan kombinasi ini sangatlah bagus mengingat saat ini kita
hidup di era interdisipliner. Walaupun demikian tak menutup kemungkinan juga
jika ingin fokus pada satu disiplin ilmu saja sebab program honors pun banyak tersedia.
Menyandang gelar Ph.D nampaknya
bukan lagi jadi barang mewah di India. Tak heran jika hampir semua dosen disini
sudah mengantongi gelar Ph.D bahkan Postdoctoral.
Sejak semester pertama pun kami sudah ‘disuguhi’ dengan dosen-dosen hebat. Satu
hal yang saya senang dengan dosen India adalah, mereka tidak pernah absen
mengajar. Mereka hanya mengajar di satu tempat jadi sangat mudah untuk menemui dosen
kapanpun jika dibutuhkan. Dua tahun saya belajar di India belum pernah
menemukan dosen yang sibuk mengajar sekaligus melakukan penelitian atau proyek.
Biasanya mereka akan mengajukan izin cuti untuk penelitian supaya bisa
digantikan oleh dosen lain.
Masalah bahasa saya yakin semua
mahasiswa Indonesia mengakui bahwa India sudah jauh lebih baik dalam kemampuan
berbahasa Inggris. Di kelas
saya sendiri masih ada satu atau dua orang yang belum bisa berbicara dalam
Bahasa Inggris dengan lancar. Walau demikian, mereka tidak malu untuk berbicara
dalam Bahasa Inggris walaupun belum terlalu fasih. Dalam hal menulis, membaca,
dan mendengar secara umum mahasiswa disini sudah lancar sebab saat ujian
pertanyaan dan jawaban ditulis dalam Bahasa Inggris. Buku pelajaran dan
kegiatan belajar mengajarpun semua dalam Bahasa Inggris.
Perkuliahan
Sehari-hari
Perkuliahan disini cukup padat. Tak seperti
kampus di Indonesia pada umumnya dimana dalam satu hari hanya ada beberapa
kelas saja, perkuliahan disini lebih mirip seperti sekolah. Masuk kuliah setiap
Senin - Sabtu pukul 10.00 hingga 16.30. Istirahat setiap jam 11.45 dan 14.00.
Dalam satu hari ada empat kelas teori,
masing-masing 60 menit, dan satu kelas praktikum selama 120 menit. Proses
belajar mengajar hampir tidak pernah dilakukan dengan proyektor atau LCD
layaknya di Indonesia. Disini selalu mengandalkan buku dan papan tulis. Selama
60 menit kelas teori, 40 menit dosen akan menjelaskan dan sisa 20 menit untuk
mendikte poin-poin penting. Kami dilarang untuk mencatat saat dosen menjelaskan
sebab penjelasan dosen selalu berkaitan dengan pemahaman. Satu mata kuliah teori
kami mencatat rata-rata 3-4 halaman. Untuk praktikum di lab dilakukan secara
individu. Saat praktikum setiap mahasiswa harus bisa mandiri. Jika ada hal yang
belum dimengerti selalu diwajibkan bertanya kepada dosen. Saya pernah kena
marah karena bertanya pada teman saat praktikum, bukan pada dosen.
Ada saat dimana saya tidak ada praktikum. Biasanya
saya akan ke perpustakaan bersama teman-teman untuk mencari bahan tugas. Penugasan
atau assignment disini tidak seperti
di Indonesia yang bisa dikerjakan dengan Microsoft
Word. Semua tugas yang diberikan dosen harus ditulis tangan. Satu tugas
biasanya akan menghabiskan 20-25 halaman
kertas HVS A4. Tak heran jika dosen biasanya akan memberikan tugas satu bulan
sebelumnya. Perlu diketahui bahwa India sangatlah book-oriented. Google nampaknya tidak terlalu menarik perhatian
mahasiswa disini. Jika ada hal yang mereka tidak paham, mereka lebih senang
mencarinya di buku dari pada google.
Sistem Ujian Semester
Ujian Akhir Semester (UAS) adalah
salah satu topik unggulan saat kita membahas pendidikan India. Sistem UAS untuk
jenjang S-1 dan S-2 kurang lebih sama. Tidak hanya bagi mahasiswa Indonesia,
bagi mahasiswa lokal pun, ujian selalu menjadi momok tersendiri. Bagi mereka
nilai adalah segala-galanya. Tak heran saat mendekati ujian mahasiswa akan
belajar mati-matian.
Sistem ujian disini amat kontras
dengan Indonesia. Tak jarang saat awal-awal semester mahasiswa Indonesia agak
keteteran dalam menyesuaikan. Bentuk ujian disini adalah esai. Satu mata kuliah
mahasiswa harus menuliskan jawaban rata-rata 20-30 halaman. Sebetulnya tidak
ada jumlah minimal halaman untuk menulis jawaban, namun jenis pertanyaan yang
diajukan memang mengharuskan kami menulis sebanyak itu. Waktu yang diberikan
tiap mata kuliah di ujian teori adalah 3 jam. Tidak ada waktu istirahat. Tidak
ada istilah boleh dikerjakan dirumah.
Bentuk pertanyaan yang diajukan di
semua mata kuliah adalah short answer
dan long answer. Untuk tipe short answer biasanya saya hanya menulis
jawaban sekitar dua halaman sedangkan untuk long
answer bisa sampai lima halaman atau lebih. Untuk long answer sebisa mungkin saya menyertakan gambar atau diagram. Gambarpun juga saya buat dengan pensil dan
tangan saya sendiri.
Dengan sistem ujian yang sedemikian
rupa, kami memang selalu dituntut untuk banyak membaca. Satu bulan sebelum UAS
dosen sudah mulai ‘menghantui’ kami dengan kata ujian. Persiapan ujian saya
lakukan minimal 1,5 bulan sebelumnya. Satu setengah bulan itupun saya tidak bisa
sepenuhnya fokus karena satu bulan sebelum UAS aka nada Internal Exam dan tiga minggu sebelumnya akan ada pre-final practical exam. Pre-final
practical exam bisa dibilang seperti simulasi ujian praktek. Ujian praktek
sendiri akan dilakukan setelah UAS selesai.
Budaya Belajar
India sangat menghargai mereka yang belajar. Mereka
selalu yakin bahwa ilmu pengetahuanlah yang bisa membuat kehidupan lebih baik
di masa depan. Seperti yang sudah saya tulis diatas bahwa UAS disini bisa
dibilang cukup ‘horor’. Tak heran jika mahasiswa India punya semangat membaca
yang luar biasa. Dimanapun kita bisa menemukan orang yang asik berkutat dengan
bukunya. Metode belajar SKS (Sistem Kebut Semalam) pun tak berlaku disini. Mahasiswa
Indonesia senior, alumni Delhi University, pernah menasehati saya , “Kalau kamu persiapan UAS cuma satu bulan,
mending nggak usah ikut ujian. Ikut ujian tahun depan saja.” Kasarannya
adalah, jika persiapan UAS hanya satu bulan sudah bisa dipastikan kita tidak
lulus.
Pengalaman belajar di negara yang sedang
berproses untuk menjadi negara maju menurut saya adalah pengalaman yang luar
biasa. Dari situ kita bisa lebih memahami proses dan bentuk kerja keras negara
itu dalam membangun negaranya. Jika pengetahuan kita akan India hanya
sebatas film Bollywood atau kain sari nya, think
again! Di luar sana banyak negara yang justru mengenal India karena
roketnya, dokternya, misi ke Mars termurah-nya, CEO-nya, dan lain sebagainya. Dan nampaknya Indonesia perlu
mencontoh budaya belajar negara berkembang satu ini. (Rahma S)
Note : Artikel ini pernah dimuat di buletin Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4)