Mendidikan Diri di Anak Benua

June 10, 2019 Add Comment

Graduation Ceremony by PPI Hyderabad


 Pertanyaan terpopuler selama saya menempuh pendidikan di India adalah, ‘Kenapa memilih India?’. Jawaban saya sederhana, karena Bahasa Inggris saya biasa saja. Kepercayaan diri saya tidak sehebat itu jika harus kuliah di Eropa dengan modal bahasa rata-rata. Maka dari itu sebisa mungkin saya mencari negara tujuan belajar dimana Bahasa Inggris bukan menjadi bahasa ibu namun menjadi bahasa resmi negara tersebut.  Jika saya kuliah di negara dimana Bahasa Inggris bukanlah bahasa ibu, maka mereka akan lebih memahami saat tata bahasa Inggris saya kurang pas ataupun tenses yang salah, karena saya  bukan English native speaker, begitu pula dengan mereka.


Saya merasa kuliah di India merupakan batu pijakan untuk bisa kuliah di Eropa. Jarang sekali ada beasiswa S-1 luar negeri. Oleh karena itu ketika ada pembukaan beasiswa India untuk S-1 sampai S-3 tanpa banyak basa-basi saya langsung mendaftar.

India dalam Sejenak
India, negara berpenduduk lima kali lebih banyak dari pada Indonesia, sesungguhnya (dan memang sebetulnya) mempunyai ikatan cukup erat dengan Tanah Air beta. Walaupun latar belakang saya adalah sains, tapi saya pernah kok kenalan dengan cabang ilmu yang disebut Sejarah. Si Sejarah bercerita bahwa mantan Perdana Menteri India, Pandit Jawaharlal Nehru, pernah berkarib dengan Ir. Soekarno. Mungkin tak boleh dilupakan juga bahwa Bahasa India kuno, Sansekerta, pernah diadopsi oleh negara kita dalam rangka pemberian nama Indonesia.

Selain Bollywood, banyak ‘kemewahan’ yang ditawarkan oleh negara ini. Siapa yang sangka bahwa Negeri Pak Gandhi ini pernah melakukan Mars Orbiter Mission termurah? Tak hanya itu, sembilan warga negara India pernah menerima penghargaan Nobel. Angka yang bisa dibilang lumayan untuk negara yang (masih) berkembang. Mantan negara jajahan Inggris ini juga tak kalah saing di dunia Multinational Corporation. Tak sedikit nama-nama India yang masuk dalam jajaran CEO, seperti Satya Nadella (CEO Microsoft), Shantanu Narayen (CEO Adobe) dan lain sebagainya. India juga sudah punya angkutan umum metro atau subway yang sangat bagus dan murah. Mobil asli India, Tata Nano, pun sudah ‘berkeliaran’ dimana-mana. Dua bandara internasional India, Indira Gandhi International Airport (New Delhi) dan Chhatrapati Shivaji International Airport (Mumbai) tahun 2015 lalu dinyatakan sebagai bandara terbaik kedua se-Asia Pasifik setelah  Singapore Changi Airport.

Kuliah Bak Kacang Goreng
Secara umum biaya pendidikan kampus negeri di India lebih murah dari pada kampus negeri di Indonesia. Tak sedikit mahasiswa Indonesia dan mahasiswa asing dari Thailand, Cina, Korea Selatan belajar di India tanpa beasiswa alias self-financing lataran biaya pendidikan dan biaya hidup yang murah. Saya ambil contoh Delhi University, universitas terbaik di India, untuk jurusan sains hanya mematok biaya Rs 19.000 (± Rp 4 juta) per tahun. Untuk jurusan ilmu sosial mahasiswa hanya perlu membayar Rs 7.000 (± Rp 1.4 juta) per tahun untuk jenjang S-1 dan Rs 13.000 (± Rp 2.6 juta) per tahun untuk jenjang S-2. Kampus favorit lain adalah Jawaharlal Nehru University (JNU) yang hanya mematok biaya maksimal USD 750 per tahun untuk program sains jenjang S-2 dan S-3. Biaya tersebut adalah biaya untuk mahasiswa asing. Untuk warga lokal sendiri, di JNU, cukup dengan Rs 300 (± Rp 60 ribu) per tahun sudah bisa kuliah S-2. Kampus JNU hanya membuka program S-2 dan S-3.

Selain biaya kuliah yang sangat murah, biaya buku pun tak kalah murahnya. Kami mahasiswa Indonesia tak perlu lagi repot-repot mencari buku bajakan. Untuk kualitas buku tak perlu diragukan. Buku-buku terbitan Oxford University Press, Cambridge University Press, Mc Graw Hill, Willey, sudah bisa ditemukan dimanapun bahkan di toko buku kecil sekalipun. Buku Microbiology oleh J. Pelczar, JR terbitan Mc Graw Hill Education setebal hampir seribu halaman bisa didapat hanya dengan Rp 135 ribu. Buku-buku terbitan India sendiri juga tak kalah bagusnya. Buku-buku kuliah terbitan India rata-rata ditulis oleh para dosen yang sudah S-3 bahkan postdoctoral. Rata-rata aktivitas dosen-dosen disini selain mengajar adalah menulis buku. Tak sedikit dosen saya yang sudah menerbitkan banyak buku. Saya pribadi lebih senang dengan buku-buku karangan dosen India karena harganya lebih murah, walaupun buku terbitan internasional juga murah, dan penggunaan Bahasa Inggris yang lebih simpel sehingga mudah dipahami.

Menimba Sains di India
Saya masih ingat hari pertama kuliah, jujur saja, saya merasa seperti orang yang tidak pernah sekolah. Hal pertama yang cukup membuat saya syok adalah scientific English. Selama saya sekolah di Jogja, fokus saya belajar Bahasa Inggris hanya sebatas kemampuan berkomunikasi secara umum. Kalau saya tidak kuliah di India mungkin saya tidak akan pernah tau bahwa Bahasa Inggris nya Alkana adalah Alkane, Alkena adalah Alkene, and Alkuna adalah Alkyne. Itu hanya sebagian kecilnya saja. Hingga sekarang saya masih terus belajar untuk itu. Teman saya orang Indonesia yang juga anak sains pun menghadapi permasalahan yang sama terkait scientific English. Walaupun saat itu saya dan teman-teman India saya sama-sama baru lulus SMA, namun saya merasa pengetahuan mereka khusunya tentang sains jauh melampaui saya. Padahal saat di Indonesia, saya sekolah di SMA negeri di Yogyakarta, yang notaben nya adalah Kota Pendidikan, dan sekolah saya termasuk lima besar SMA negeri terbaik di DIY saat itu.

Satu hal yang cukup menggembirakan tentang India bagi para penggemar ilmu eksak adalah spesifikasi jurusan. Jurusan ilmu alam untuk jenjang S-1 di India menurut saya cukup variatif. Tidak hanya sekedar Biologi, Kimia, atau Fisika namun sudah lebih spesifik seperti Genetics, Biotechnology, Microbiology, Biochemistry, Biomedical Sciences, Botany, Zoology, Molecular Biology, dsb. Saya pernah cek di NTU dan NUS untuk jurusan sains jenjang S-1 dan S-2 tak sevariatif disini.

Sistem jurusan interdisipliner pun tersedia di kampus India. Misal di kampus saya sendiri ada beberapa kombinasi jurusan yang bisa diambil antara lain Microbiology, Genetics, and Chemistry (MGC), Microbiology, Biochemistry, and Chemistry (MBiC), Biotechnology, Genetics, and Chemistry (BtGC), Mathematics, Physics, and Computer (MPC); Electronics, Mathematics, and Computer (EMC), dsb. Saya pribadi melihat sistem jurusan kombinasi ini sangatlah bagus mengingat saat ini kita hidup di era interdisipliner. Walaupun demikian tak menutup kemungkinan juga jika ingin fokus pada satu disiplin ilmu saja sebab program honors pun banyak tersedia.

Menyandang gelar Ph.D nampaknya bukan lagi jadi barang mewah di India. Tak heran jika hampir semua dosen disini sudah mengantongi gelar Ph.D bahkan Postdoctoral. Sejak semester pertama pun kami sudah ‘disuguhi’ dengan dosen-dosen hebat. Satu hal yang saya senang dengan dosen India adalah, mereka tidak pernah absen mengajar. Mereka hanya mengajar di satu tempat jadi sangat mudah untuk menemui dosen kapanpun jika dibutuhkan. Dua tahun saya belajar di India belum pernah menemukan dosen yang sibuk mengajar sekaligus melakukan penelitian atau proyek. Biasanya mereka akan mengajukan izin cuti untuk penelitian supaya bisa digantikan oleh dosen lain.
Masalah bahasa saya yakin semua mahasiswa Indonesia mengakui bahwa India sudah jauh lebih baik dalam kemampuan berbahasa Inggris. Di kelas saya sendiri masih ada satu atau dua orang yang belum bisa berbicara dalam Bahasa Inggris dengan lancar. Walau demikian, mereka tidak malu untuk berbicara dalam Bahasa Inggris walaupun belum terlalu fasih. Dalam hal menulis, membaca, dan mendengar secara umum mahasiswa disini sudah lancar sebab saat ujian pertanyaan dan jawaban ditulis dalam Bahasa Inggris. Buku pelajaran dan kegiatan belajar mengajarpun semua dalam Bahasa Inggris.

Perkuliahan Sehari-hari
Perkuliahan disini cukup padat. Tak seperti kampus di Indonesia pada umumnya dimana dalam satu hari hanya ada beberapa kelas saja, perkuliahan disini lebih mirip seperti sekolah. Masuk kuliah setiap Senin - Sabtu pukul 10.00 hingga 16.30. Istirahat setiap jam 11.45 dan 14.00.
Dalam satu hari ada empat kelas teori, masing-masing 60 menit, dan satu kelas praktikum selama 120 menit. Proses belajar mengajar hampir tidak pernah dilakukan dengan proyektor atau LCD layaknya di Indonesia. Disini selalu mengandalkan buku dan papan tulis. Selama 60 menit kelas teori, 40 menit dosen akan menjelaskan dan sisa 20 menit untuk mendikte poin-poin penting. Kami dilarang untuk mencatat saat dosen menjelaskan sebab penjelasan dosen selalu berkaitan dengan pemahaman. Satu mata kuliah teori kami mencatat rata-rata 3-4 halaman. Untuk praktikum di lab dilakukan secara individu. Saat praktikum setiap mahasiswa harus bisa mandiri. Jika ada hal yang belum dimengerti selalu diwajibkan bertanya kepada dosen. Saya pernah kena marah karena bertanya pada teman saat praktikum, bukan pada dosen.

Ada saat dimana saya tidak ada praktikum. Biasanya saya akan ke perpustakaan bersama teman-teman untuk mencari bahan tugas. Penugasan atau assignment disini tidak seperti di Indonesia yang bisa dikerjakan dengan Microsoft Word. Semua tugas yang diberikan dosen harus ditulis tangan. Satu tugas biasanya akan menghabiskan  20-25 halaman kertas HVS A4. Tak heran jika dosen biasanya akan memberikan tugas satu bulan sebelumnya. Perlu diketahui bahwa India sangatlah book-oriented. Google nampaknya tidak terlalu menarik perhatian mahasiswa disini. Jika ada hal yang mereka tidak paham, mereka lebih senang mencarinya di buku dari pada google.

Sistem Ujian Semester
Ujian Akhir Semester (UAS) adalah salah satu topik unggulan saat kita membahas pendidikan India. Sistem UAS untuk jenjang S-1 dan S-2 kurang lebih sama. Tidak hanya bagi mahasiswa Indonesia, bagi mahasiswa lokal pun, ujian selalu menjadi momok tersendiri. Bagi mereka nilai adalah segala-galanya. Tak heran saat mendekati ujian mahasiswa akan belajar mati-matian.
Sistem ujian disini amat kontras dengan Indonesia. Tak jarang saat awal-awal semester mahasiswa Indonesia agak keteteran dalam menyesuaikan. Bentuk ujian disini adalah esai. Satu mata kuliah mahasiswa harus menuliskan jawaban rata-rata 20-30 halaman. Sebetulnya tidak ada jumlah minimal halaman untuk menulis jawaban, namun jenis pertanyaan yang diajukan memang mengharuskan kami menulis sebanyak itu. Waktu yang diberikan tiap mata kuliah di ujian teori adalah 3 jam. Tidak ada waktu istirahat. Tidak ada istilah boleh dikerjakan dirumah.

Bentuk pertanyaan yang diajukan di semua mata kuliah adalah short answer dan long answer. Untuk tipe short answer biasanya saya hanya menulis jawaban sekitar dua halaman sedangkan untuk long answer bisa sampai lima halaman atau lebih. Untuk long answer sebisa mungkin saya menyertakan gambar atau diagram. Gambarpun juga saya buat dengan pensil dan tangan saya sendiri.
Dengan sistem ujian yang sedemikian rupa, kami memang selalu dituntut untuk banyak membaca. Satu bulan sebelum UAS dosen sudah mulai ‘menghantui’ kami dengan kata ujian. Persiapan ujian saya lakukan minimal 1,5 bulan sebelumnya. Satu setengah bulan itupun saya tidak bisa sepenuhnya fokus karena satu bulan sebelum UAS aka nada Internal Exam dan tiga minggu sebelumnya akan ada pre-final practical exam. Pre-final practical exam bisa dibilang seperti simulasi ujian praktek. Ujian praktek sendiri akan dilakukan setelah UAS selesai.

Budaya Belajar
India sangat menghargai mereka yang belajar. Mereka selalu yakin bahwa ilmu pengetahuanlah yang bisa membuat kehidupan lebih baik di masa depan. Seperti yang sudah saya tulis diatas bahwa UAS disini bisa dibilang cukup ‘horor’. Tak heran jika mahasiswa India punya semangat membaca yang luar biasa. Dimanapun kita bisa menemukan orang yang asik berkutat dengan bukunya. Metode belajar SKS (Sistem Kebut Semalam) pun tak berlaku disini. Mahasiswa Indonesia senior, alumni Delhi University, pernah menasehati saya , “Kalau kamu persiapan UAS cuma satu bulan, mending nggak usah ikut ujian. Ikut ujian tahun depan saja.” Kasarannya adalah, jika persiapan UAS hanya satu bulan sudah bisa dipastikan kita tidak lulus.

Pengalaman belajar di negara yang sedang berproses untuk menjadi negara maju menurut saya adalah pengalaman yang luar biasa. Dari situ kita bisa lebih memahami proses dan bentuk kerja keras negara itu dalam membangun negaranya. Jika pengetahuan kita akan India hanya sebatas film Bollywood atau kain sari nya, think again! Di luar sana banyak negara yang justru mengenal India karena roketnya, dokternya, misi ke Mars termurah-nya, CEO-nya, dan lain sebagainya. Dan nampaknya Indonesia perlu mencontoh budaya belajar negara berkembang satu ini. (Rahma S)



Note : Artikel ini pernah dimuat di buletin Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4)