Belum lama ini saya sudah memulai kuliah tahun terakir. Saya masih belum percaya. Perasaan haru dan syukur akan bisa menyelsaikan pendidikan di Tanah Gandhi (InsyaAllah) merupakan pencapaian yang sangat membanggakan. Bagi yang pernah membaca tulisan-tulisan saya sebelumnya tentang perjuangan agar tetap bisa mempertahankan kuliah di negeri ini pasti sudah bisa mengira-ira seberapa dalam syukur dan haru yang saat ini tertanam. Teman-teman Indonesia yang mengetahui atau mengikuti jejak-jejak saya di negeri ini tak sedikit yang memanjatkan doa nya untuk kelancaran segala urusan di tahun terakhir pendidikan saya.
Ini adalah sebuah refleksi untuk membuka tahun goodbye saya di India sebagai seorang mahasiswa Bachelor. Tahun pertama saya memulai kuliah (lagi) di Hyderabad tidak ada kata mudah. Secara mental saya harus bangkit lagi, sebelumnya kepercayaan diri saya sudah hancur semasa di Delhi. Membangkitkan kepercayaan diri yang telah hancur tak semudah teori para motivational speaker yang buku-bukunya selalu setia menemani sejak sama masih SMP, atau mungkin tak ada yang saya terapkan dalam masa-masa tersulit saya. Saya masuk kuliah tahun pertama pada bulan Agustus dan itu sudah amat sangat terlambat karena tahun ajaran baru selalu dimulai bulan Juni. Saya memulai kuliah satu minggu sebelum ujian internal kampus, dan itu saya stres berat. Belum lagi urusan keuangan yang hanya cukup untuk makan nasi satu kali sehari, lantaran saya hanya mengandalkan honor semasa bekerja selama tujuh bulan di Delhi untuk biaya SPP dan uang makan sehari-hari selama satu tahun pertama. Orang tua saya tak tahu apa-apa saya pindah dan mengulang kuliah ke Hyderabad. Mereka mengetahui kabar sesungguhnya saat saya sudah memasuki tahun kedua kuliah. Saya amat bersyukur mereka tidak syok, justru malah mengkhawatirkan keadaan saya disini.
Tabungan dari hasil bekerja di Delhi tak mampu membuat saya bisa makan dengan cukup. Jatah makan Rp 200 ribu sebulan hanya mampu mencukupi saya untuk sarapan dengan teh dan pisang, makan siang dengan roti, dan makan makan malam pakai nasi dan sayur atau telur. Saya tidak banyak bergaul dengan teman-teman Indonesia terumata saat mereka ada acara ke bioskop bareng atau sekedar ngopi. Saya memutuskan diri dari segala bentuk organisasi. Sebagi gantinya saya lebih sering dirumah menulis blog atau menerima orderan translate yang tidak seberapa sering.
Tahun kedua saya di Hyderabad, merupakan tahun terbaik buat saya. Saya lulus di semua mata kuliah tahun pertama, saya sudah tenang karena orang tua saya sudah mengetahui keadaan saya yang sebenarnya sehingga akan lebih mudah buat saya jika ingin memohon doa dan ridha dari mereka, dan saya sudah mulai mendapat kiriman uang bulanan dari mereka. Tidak banyak. Untuk makan masih sekitar Rp 200ribu sebulan, namun saya lebih tenang. Saya memulai kembali hobi saya beraktiviatas di organisasi seperti PPI TV, PPI India, dan PPI Dunia. Saya mempunyai semakin banyak teman di kampus dan saya sudah bisa makan cukup. Saya menyadari itu semua berkat ridha dan doa orang tua yang tak pernah putus.
Uang saku Rp 200ribu untuk sebulan di tahun pertama yang saya hasilkan dari jeri payah saya sendiri dibandingkan dengan nominal yang sama yang diberikan oleh orang tua saya ternyata lebih banyak membawa berkah nominal dari orang tua saya. Uang pemberian orang tua yang jika secara matematika tidak akan bisa mencukupi saya ternyata cukup buat saya, bahkan saya sering mentraktir teman dekat saya untuk sekedar minum chai di kantin kampus. Makanan yang saya makan dari pemberian orang tua saya membuat saya lebih baik dalam menjalani segala hal; kuliah, organisasi, sosial. Saya menyadari bahwa itulah yang disebut dengan keberkaan dalam rezeki. Nominal dari orang tua setara dengan yang saya hasilkan sendiri namun dibalik nominal dari orang tua tersimpan sumber-sumber rezeki lain yang tak terlihat. Sepeser uang dari orang tua yang dilandari dengan doa di tahajud setiap malam nya membuat saya tidak hanya bisa hidup, namun mampu hidup dan bertahan hingga saat ini. Bahkan saya tidak pernah merasakan kekurangan yang berarti semenjak doa orang tua menjadi pengiring nafas dan langkah saya disini.
Mencari keberkahan jauh lebih memuaskan dari pada mencari rezeki itu sendiri. Dibalik rezeki yang berkah tersimpan banyak sumber rezeki yang tak terlihat; kesehatan, kebahagiaan yang panjang, merasa berkecukupan, sahabat yang setia, proses belajar yang menyenangkan, kemudahan hati untuk selalu bersyukur, serta keringanan dan ketenangan batin dalam menjalani hidup setiap harinya.