Refleksi Perjalanan Mahasiswa Tingkat Akhir

July 16, 2018 1 Comment


Belum lama ini saya sudah memulai kuliah tahun terakir. Saya masih belum percaya. Perasaan haru dan syukur akan bisa  menyelsaikan  pendidikan di Tanah Gandhi  (InsyaAllah) merupakan pencapaian yang sangat membanggakan. Bagi yang pernah membaca tulisan-tulisan saya sebelumnya tentang perjuangan agar tetap bisa mempertahankan kuliah di negeri ini pasti sudah bisa mengira-ira seberapa dalam syukur dan haru yang saat ini tertanam. Teman-teman Indonesia yang mengetahui atau mengikuti jejak-jejak saya di negeri ini tak sedikit yang memanjatkan doa nya untuk kelancaran segala urusan di tahun terakhir pendidikan saya.

Ini adalah sebuah refleksi untuk membuka tahun goodbye saya di India sebagai seorang mahasiswa Bachelor. Tahun pertama saya memulai kuliah (lagi) di Hyderabad tidak ada kata mudah. Secara mental saya harus bangkit lagi, sebelumnya kepercayaan diri saya sudah hancur semasa di Delhi. Membangkitkan kepercayaan diri yang telah hancur tak semudah teori para motivational speaker yang buku-bukunya selalu setia menemani sejak sama masih SMP, atau mungkin tak ada yang saya terapkan dalam masa-masa tersulit saya. Saya masuk kuliah tahun pertama pada bulan Agustus dan itu sudah amat sangat terlambat karena tahun ajaran baru selalu dimulai bulan Juni. Saya memulai kuliah satu minggu sebelum ujian internal kampus, dan itu saya stres berat.  Belum lagi urusan keuangan yang hanya cukup untuk makan nasi satu kali sehari, lantaran saya hanya mengandalkan honor semasa bekerja selama tujuh bulan di Delhi untuk biaya SPP dan uang makan sehari-hari selama satu tahun pertama. Orang tua saya tak tahu apa-apa saya pindah dan mengulang kuliah ke Hyderabad. Mereka mengetahui kabar sesungguhnya saat saya sudah memasuki tahun kedua kuliah. Saya amat bersyukur mereka tidak syok, justru malah mengkhawatirkan keadaan saya disini. 

Tabungan dari hasil bekerja di Delhi tak mampu membuat saya bisa makan dengan cukup. Jatah makan Rp 200 ribu sebulan hanya mampu mencukupi saya untuk sarapan dengan teh dan pisang, makan siang dengan roti, dan makan makan malam pakai nasi dan sayur atau telur. Saya tidak banyak bergaul dengan teman-teman Indonesia terumata saat mereka ada acara ke bioskop bareng atau sekedar ngopi. Saya memutuskan diri dari segala bentuk organisasi. Sebagi gantinya saya lebih sering dirumah menulis blog atau menerima orderan translate yang tidak seberapa sering. 

Tahun kedua saya di Hyderabad, merupakan tahun terbaik buat saya. Saya lulus di semua mata kuliah tahun pertama, saya sudah tenang karena orang tua saya sudah mengetahui keadaan saya yang sebenarnya sehingga akan lebih mudah buat saya jika ingin memohon doa dan ridha dari mereka, dan saya sudah mulai mendapat kiriman uang bulanan dari mereka. Tidak banyak. Untuk makan masih sekitar Rp 200ribu sebulan, namun saya lebih tenang. Saya memulai kembali hobi saya beraktiviatas di organisasi seperti PPI TV, PPI India, dan PPI Dunia. Saya mempunyai semakin banyak teman di kampus dan saya sudah bisa makan cukup. Saya menyadari itu semua berkat ridha dan doa orang tua yang tak pernah putus.

Uang saku Rp 200ribu untuk sebulan di tahun pertama yang saya hasilkan dari jeri payah saya sendiri dibandingkan dengan nominal yang sama yang diberikan oleh orang tua saya ternyata lebih banyak membawa berkah nominal dari orang tua saya. Uang pemberian orang tua yang jika secara matematika tidak akan bisa mencukupi saya ternyata cukup buat saya, bahkan saya sering mentraktir teman dekat saya untuk sekedar minum chai di kantin kampus. Makanan yang saya makan dari pemberian orang tua saya membuat saya lebih baik dalam menjalani segala hal; kuliah, organisasi, sosial. Saya menyadari bahwa itulah yang disebut dengan keberkaan dalam rezeki. Nominal dari orang tua setara dengan yang saya hasilkan sendiri namun dibalik nominal dari orang tua tersimpan sumber-sumber rezeki lain yang tak terlihat. Sepeser uang dari orang tua yang dilandari dengan doa di tahajud setiap malam nya membuat saya tidak hanya bisa hidup, namun mampu hidup dan bertahan hingga saat ini. Bahkan saya tidak pernah merasakan kekurangan yang berarti semenjak doa orang tua menjadi pengiring nafas dan langkah saya disini. 

Mencari keberkahan jauh lebih memuaskan dari pada mencari rezeki itu sendiri. Dibalik rezeki yang berkah tersimpan banyak sumber rezeki yang tak terlihat; kesehatan, kebahagiaan yang panjang, merasa berkecukupan, sahabat yang setia, proses belajar yang menyenangkan, kemudahan hati untuk selalu bersyukur, serta keringanan dan ketenangan batin dalam menjalani hidup setiap harinya.

Miss Perfect

July 14, 2018 Add Comment

Hari ini, 14 Juli 2018, merupakan hari yang cukup bermakna untuk kumaksukkan dalam daftar momen pelipur lara. Blog dambaanku sudah mulai muncul ke dalam-jaringan secara mandiri, tidak lagi numpang nama dengan blogspot. Bukan domain dot com nya yang mampu melipuri lara lamaku, tapi cita-cita yang dalam untuk "menebus" blog ini akhirnya kesampaian juga.

Blog ini telah berhasil membuatku berani untuk membeberkan kepada khalayak akan masam pahit masa jatuhku di Negara Anak Benua ini.


****
Kata sifat perfeksionis menjadi salah satu komposisi dalam karakterku. Dari sekian banyak kata sifat yang menempel didiriki, nampaknya kata sifat ini cukup membuatku sering tak tidur. Tidak ada orang yang sempurna. Benar. Namun tak sedikit juga orang yang ingin menjadi sempurna, menurut versi mereka sendiri. Aku termasuk salah satu dari populasi yang tidak sedikit itu. Menjadi seorang yang sempurna artinya aku mampu menjadikan segala ambisiku tidak hanya sekedar impian yang tertempel di dinding saja. Namun tempelan-tempelan dinding itu bisa kubuktikan kenyataanya, bahwa apa yang tertulis diatas nya benar-benar ada dan terjadi.

Kala itu salah satu dambaanku adalah bisa lulus dari Delhi University jurusan Microbiology, yang merupakan kampus dan jurusan para dewa. Aku sudah terlalu membayangkan betapa bahagianya diriku jika bisa lulus dari kampus tersebut apalagi dengan beasiswa. Mewujudkan ambisi tersebut ke dunia nyata merupakan hal mutlak dalam rangka menyegarkan dahaga akan tuntutan pribadi menjadi orang sempurna sesuai standar yang telah aku tetapkan.

Namun ternyata Tuhan Maha Memahami apa yang hamba-Nya rasakan. Penyakit hati ingin menjadi sempurna yang sedang menimpa diriku ternyata tak dibiarkan makin memerah. Dia menuntunku maju melalui jalan pilihan-Nya. Atau mungkin bukan sebuah jalan. Dia menuntunku menuju tembok tinggi yang mau tidak mau aku harus melampauinya. Saking tingginya hingga bayanganku sendiri tertutup oleh bayangan tembok. Aku menaiki tembok itu dengan nafsuku. Nafsu ingin segera melewatinya. Nafsu untuk segera melaluinya dan mengenakan jubah 'kesempurnaan'. Aku mendaki tembok  itu dengan segala gaya manusia yang aku punya. Namun manusia tetaplah manusia, akan tetap kalah dengan hukum alam dari Tuhan, gaya gravitasi, yang setia menarikku ke punggung bumi dikala aku bernafsu mendaki menuju langit. Aku lelah dengan segala upaya manusia yang ada didiriku, dan akhirnya aku mengikhlaskan diri untuk mentaati hukum alam Nya. Aku drop out dari kampus impian. 

Langit tak mau menerimaku, namun Ibu Bumi lah yang setia menopang rebahan badanku yang memar. Ibu Bumi menimangku dengan nasehat-nasehat cintanya dan mengobatiku deng pil penyembuhnya, seraya berkata "kamu, jiwa ragamu, harus move on". Kutelan pil pahit resep dari Ibu Bumi. Kubiarkan pil itu mengarungi pembuluh darahku. Benar saja. Aku sembuh. Sembuh dari penyakit hati.

Terima kasih Ibu Bumi.

Cerita Tentang Tabung Gas

July 13, 2018 Add Comment

Impresi pertama orang-orang pada umumnya saat tahu kita kuliah di luar negeri adalah keren. Hal tersebut memang tidak salah, namun terlihat keren bukanlah satu-satunya hal yang para mahasiswa rantau hadapi, apalagi merantau ke luar negeri. Banyak sekali pengalaman-pengalam pahit yang hanya dihadapi oleh mahasiwa yang sedang menempuh pendidikan di luar negeri, nyaris deportasi misalnya, hal yang pernah saya alami dua tahun yang lalu. 

Sangat jauh dari keluarga dan jauh dari teman-teman Indonesia lainnya memaksa saya untuk bisa melakukan segalanya sendiri. Segalanya... Mulai dari memperbaiki tabung gas yang rusak, mengangkat galon ke kamar kos, hingga mengurus diri sendiri sendirian saat sakit. 

Saya bersyukur selama dua tahun saya di Hyderabad saya belum pernah mengalami sakit yang serius. Paling banter demam dan flu karena kecapaian kuliah dan organisasi yang dibarengi dengan pancaroba. Namun tetap saja hal tersebut tidaklah nyaman untuk dijalani apalagi di tahun terakhir perkuliahan dimana beban belajar meningkat 200%. 

Sudah hampir dua minggu ini tabung gas saya serahkan ke Si Uncle penjaga warung. Dia cukup dekat dengan saya karena saya langganan telur ayam dari beliau, dan beliau cukup fasih berbahasa Inggris walaupun jika dilihat kita mudah menebak bahwa beliau dari golongan kasta bawah. Namun demikian kemampuannya dalam berkomunikasi dalam Bahasa Inggris bisa dibilang wow. 

Saya memberikan tabung saya ke beliau lantaran gas yang sudah habis. Beliau mengatakan bahwa bagian pemancar api tidak berkerja dengan baik jadi perlu direparasi. Saya mengiyakan supaya direparasi sebab terakhir saya gunakan api memang kurang lancar. Setiap hari sepulang kampus, sehabis maghrib saya selalu ke warung beliau menanyakan kabar tabung gas. Namun tiap hari jawabannya tetaplah sama, "I will deliver it to your home" hingga pada akirnya saya yang muak sendiri. Sebab saya tidak bisa memasak untuk sarapan dan makan malam. Saya hanya mengandalkan rice cooker untuk memasak. Namun jika saya sedang sangat lelah saya lebih memilih untuk membeli lauk dari luar dan menyimpannya di kulkas. 
Saya sendiri tidak bisa marah kepada beliau karena niat beliau sangatlah baik membantu saya. Dia memberikan tabung gas saya ke tukang reparasi untuk diperbaiki. Suatu ketika saya benar-benar sudah lelah dan saya berencana untuk marah-marah ke beliau karena sudah 10 hari tabung tak kunjung diantar padahal saya sudah membayar Rs 280 (60 ribu). Diperjalanan menuju warung Si Uncle, saya sudah  menyiapkan kata-kata yang akan saya lontarkan dan menumpahkan segala emosi saya ke beliau. Namun tiba-tiba ditengah jalan yang cukup gelap saya dikejutkan oleh seorang kakek yang jatuh terjepit oleh sepeda motornya dan tidak sanggup berteriak meminta tolong. Saya satu-satunya yang melihat kakek itu merintih. Sontak saya langsung ikut membantu mengangkat sepeda motor yang menjepit beliau. Namun apa daya badan saya yang kecil tidak cukup kuat untuk mengangkat motor yang menghimpit si kakek. Akhirnya saya menyetop seorang pengendara sepeda motor yang sedang lewat dan memintanya untuk membantu "membebaskan" si kakek dari himpitan motornya.Si kakek pun akhirnya berhasil bebas dan mengucapkan terima kasih kepada kami.

Saya pun melanjutkan berjalan menuju warung Si Uncle dan entah malaikat jenis apa yang ada saat itu, segala emosi saya untuk Si Uncle sudah luluh tak bersisa. Akhirnya saya ke warung Si Uncle tak jadi marah-marah dan sebagai gantinya saya datang sambil memberikan senyuman penuh arti (artinya = mana tabung gasku?). Seperti biasa jawaban beliau masih sama, "I will call the repair man again. It's been 10 days" dan beliau juga menyampaikan permintaan maafnya. 

Hari kedua belas tabung tak kunjung tiba. Malamnya setelah saya selesai memasak nasi, tiba-tiba dari dalam mesin rice cooker keluarlah api yang cukup besar. Saya cukup kaget namun tetap tenang mengamati bara api yang keluar dan setalah api sudah mulai padam saya cabut kabel dari stop kontak. Itulah saat dimana rice cooker saya wafat. Saya mulai memikirkan bagaimana kelangsunan makan saya tanpa tabung gas dan rice cooker. Uang saku saya yang sangat terbatas akan langsung habis jika saya gunakan untuk membeli rice cooker baru.

Pagi harinya badan saya demam  dan kaki saya dingin disertai sakit kepala. Saya memutuskan untuk izin kuliah pada hari itu. Saya sampaikan ke tiga teman saya bahwa saya absen kelas hari Kamis. Malam hari beberapa teman saya menelfon menanyakan kabar saya. Satu orang teman dekat saya marah-marah kepada saya karena saya tidak memberi kabar kepadanya tentang nasib tabung gas yang tak kunjung kembali apalagi ditambah rice cooker yang tiba-tiba rusak dan kondisi badan yang sangat lemas dan diluar sedang hujan sehingga saya nyaris tak bertenaga untuk keluar rumah mencari makanan. Teman saya meminta nomer telfon Si Uncle, dia bilang dia akan memarahi Si Uncle karena sudah membiarkan saya tidak bisa memasak hampir dua minggu. Saya tidak bisa menolak dan saya biarkan dia menelfon Si Uncle dan benar saja 1.5 jam kemudian Si Uncle datang kerumah membawa tabung gas saya yang sudah diperbaiki. Saya memberikan uang untuk membayar komponen yang rusak dan memberikan sedikit uang transport. 

Pagi harinya teman saya yang marah-marah semalam menelfon saya dan meminta saya untuk turun kebawah karena dia meminta salah satu teman cowoknya untuk mengantarkan sarapan ke saya. Saya juga cukup akrab dengan dia. Saya betul-betul merasa tersentuh dengan kepedulian mereka kepada saya. Tidak hanya itu, siang hari nya saya di telfon lagi oleh teman saya dan dia mengatakan dia sudah memesan nasi goreng untuk saya dan sekarang sudah diantar. Padahal sebelumnya saya sudah berusaha menolak halus supaya tidak merepotkan dan saya mengatakan saya akan memasak namun dia memaksa dan tidak memperbolehkan saya untuk memasak. Namun karena sudah terlanjur dipesan dan nasi goreng sudah on the way kerumah ya mau bagaimana lagi😅 

Saya bersyukur walaupun saya adalah satu-satunya mahasiswa asing dikelas namun banyak sekali teman-teman lokal disini yang sangat peduli dengan saya. terutama saat saya sakit. Teman saya bahkan akan memarahi saya jika saya tidak meminta bantuan kepada dia atau justru meminta bantuan ke orang lokal lain yang sebetulnya tidak begitu akrab dengan saya. 

Banyak diluar sana wacana tentang betapa 'ngeri' nya India, saya tidak menyalahkan opini yang beredar di masyarakat kita tentang kondisi sosial disini, namun jika kita persempit lagi sudut pandang kita maka sesungguhnya masyarakat disini bisa dibilang cukup ramah dan sangatlah helpful :)