Pelajaran Hidup - Kesempatan Emas yang Terlantar

April 11, 2017 7 Comments
 
Tak banyak yang tahu bahwa saya sebetulnya pernah mengajukan diri untuk pindah jurusan di Delhi University - tentu saja sebelum keputusan pindah kampus menjadi jalan keluarnya. Saya menemui person-in-charge, Mr. Munish Singh, yang mengurusi mahasiswa di ICCR. Saya berdiskusi dengan pihak ICCR terkait masalah saya sekaligus membahas solusi yang saya tawarkan, pindah jurusan ke B.A.

Menjadi mahasiswa B.A buat saya adalah sebuah kemustahilan. Namun jalan keluar praktis saya saat itu supaya cepat kuliah - sekaligus tetap bisa mengantongi nama Delhi University - adalah dengan menjadi mahasiswa B.A. Hati kecil saya saat itu cukup meronta dan belum bisa menerima bahwa saya akan belajar sesuatu yang bukan gue banget. Namun pemberontakan hati saya masih belum sekuat keinginan saya untuk segera bisa kuliah (lagi), walaupun harus mengubur habis cita-cita dan passion saya sebagai mahasiswa sains. 
 
***

Buat saya, Mr. Munish adalah seorang malaikat. Bukan niat beta mau lebay namun  dia lah satu-satunya orang yang bisa membuat saya optimis kembali setelah perjuangan saya yang sangat melelahkan dengan ICCR. Namun sayangnya keberadaan Mr. Munish tidak untuk waktu yang lama. Beliau dimutasi ke kantor ICCR di north-east India. Hingga sekarang pun saya masih merindukan beliau, walau pada akhirnya beliau tidak membantu saya sampai selesai. Namun saya cukup bersyukur sebab beliau adalah satu-satunya orang di ICCR yang sempat membuat saya bersemangat dan berharapan baik tentang hidup (lagi).

***

Mr. Munish sangat mendukung keputusan saya untuk beralih ke B.A. Mendapat dukungan dari ICCR artinya hampir setengah dari masalah saya sudah teratasi, sisanya adalah bagaimana cara saya berurusan dengan pihak rektorat DU.

Saya dikenalkan oleh salah satu dosen Art Faculty di DU. Beliau yang kemudian membantu saya untuk menghadap dan berbicara kepada dekan FSR (Foreign Student Registry) terkait permohonan kepindahan jurusan saya. Namun sayang sekali, kami datang disaat admission sudah tutup sehingga agak mustahil bagi mereka untuk menerima mahasiswa baru - saya mendaftar jurusan yang berbeda, oleh karena itu saya juga dihitung sebagai mahasiswa baru. Pupus sudah harapan saya untuk bisa melanjutkan belajar di kampus kebanggan tersebut. 

Dosen tersebut mencoba untuk membesarkan hati saya dan mengajak saya makan siang di restoran. Langsung saja saya iyakan ajakannya. Saat makan siang, beliau mulai membuat saya merasa tidak nyaman dengan sikapnya. Sejak saat itu saya mulai memutuskan untuk tidak berhubungan lagi dengan beliau dan meyakinkan diri bahwa saya bisa melakukannya sendiri. 

Satu minggu kemudian saya mendapat telfon dari beliau. Saya diamkan saja. Sampai tiga kali beliau menelfon, akhirnya saya non-aktifkan handphone saya. Hari kemudian hal itu terulang kembali. Beliau beberapa kali menelfon kembali. Saya tetap diamkan dan saya matikan handphone saya. Hingga pada akhirnya beliau tidak lagi menelfon.

Beberapa hari kemudian saya merasa bahwa saya tidak mungkin bisa melakukan hal ini sendirian tanpa bantuan dari orang lain. Saya mulai memikirkan untuk menghubungi beliau kembali dan melakukan sedikit kompromi atas sikapnya tempo hari, agar beliau bersedia membantu saya kembali. Saya hubungi beliau lagi dan jawaban yang saya dapatkan sungguh diluar dugaan saya. "Rahma, where have you been? Why didn't you pick up my calls? I wanted to inform you that last time I talked to Dean of FSR again and she agreed to make you B.A. because the admission was extended. But you missed your chance because the admission is now closed." DANG! Saya menangis sejadinya. Saya membiarkan kesempatan emas tersebut menghilang begitu saja. Saya merasa seperti orang bodoh dan ini adalah pertama kalinya saya merasa demikian. Saya merasa tidak punya harapan untuk tetap kuliah di India lagi. Orang tua saya bahkan tidak tahu sama sekali dengan kondisi saya. Saya tidak mau membuat mereka khawatir. Saya memutuskan untuk memberi tahu mereka ketika keadaan sudah membaik dan sekarang bukanlah saat yang tepat. 

Sejak kejadian itu saya mulai memikirkan untuk pulang ke Indonesia. Namun keputusan untuk pulang belum terlalu mantap bagi saya. Akhirnya saya mencoba untuk salat istikharah sebanyak mungkin dan berdoa sesering mungkin. Doa saya saat itu hanya satu, "Ya Allah, jika pulang adalah jalan keluar terbaik maka mantapkanlah hati hamba, namun jika tetap tinggal disini lebih baik bagi hamba maka bantulah hamba menemukan jalan keluar."

Saya menyadari tak ada gunanya meratapi kesempatan yang sudah benar-benar hilang. Saya berusaha mencari sisi positif dari kejadian tersebut. Saya mencoba untuk percaya bahwa Allah Maha Tahu bahwa B.A memang bukanlah passion saya, bukanlah masa depan saya - dan otomatis bukanlah pilihan terbaik untuk saya. Dari situ mungkin Allah ingin menguji kekuatan hamba-Nya. Saya percaya bahwa Allah tidak akan menciptakan seorang manusia dengan tujuan untuk digagalkan. Artinya, jika Allah menciptakan makhluk kecil bernama Rahma, Dia tidak mungkin menciptakannya dengan tujuan menjadikan dia sebagai manusia gagal.

Setelah merenung selama beberapa hari saya tak kunjung mendapatkan kemantapan hati untuk pulang - walaupun hampir semua kawan di Delhi menyarankan saya untuk melanjutkan pendidikan di Indonesia saja. Saya betul-betul tak bisa membohongi kata hati saya sendiri bahwa saya masih harus tetap disini dan berusaha. Saya ingat hari dimana saya mendapatkan LoA beasiswa dari ICCR, saya sudah memutuskan bahwa saya akan mengambil kesempatan itu. Satu hal yang ada dipikiran saya saat mendapatkan LoA tersebut adalah bahwa saya akan ke luar negeri, impian saya sejak kelas 2 SMP. Dan ketika saya sekarang sudah berhasil di luar negri dan dihadapkan dengan masalah ini saya tidak bisa asal melarikan diri dari masalah dengan cara pulang ke Indonesia. Saya merasa saya harus menyelsaikan masalah ini hingga betul-betul tidak ada titik terang lagi. Jiwa saya mulai tertantang kembali.

Ide gila saya muncul. Saya memutuskan untuk bekerja. Sejak kepergian Mr. Munish dari ICCR Delhi, tidak ada seorangpun yang menjadi tumpuan harapan saya saat itu. Saya betul-betul harus bekerja dan berfikir sendiri. Pihak ICCR bahkan sudah tak mau mensuport saya lagi. Saya berusaha untuk mengumpulkan uang untuk biaya kuliah saya sendiri - keputusan untuk belajar di kampus lain pun sudah mulai terpikirkan.

Hari kemudian saya pergi ke Ambience Mall, bukan untuk berbelanja, namun mencari pekerjaan. Saya mendatangi beberapa toko di mall tersebut dan menanyakan jikalau ada lowongan. Beberapa toko yang saya datangi antara lain Starbuck, Zara, Forever 21, bioskop, toko kosmetik, dsb. Beberapa menyambut saya dengan ramah. Starbuck misalnya, langsung menawari saya posisi sebagai seorang barista. Mereka menawarkan gaji sebanyak Rs 15,000 atau setara 3 juta Rupiah per bulan dengan beban kerja 6 hari dalam satu minggu. Saya sampaikan bahwa saya akan memikirkan tawaran tersebut. Saya kemudian mendatangi toko lain kalau-kalau ada yang memberikan saya tawaran gaji lebih tinggi. Saya mendatangi bioskop juga, dan lowongan pun tersedia untuk saya. Bahkan jika saya mau, besok pun saya sudah bisa bekerja disana. Namun gaji yang mereka tawarkan hanya Rs 10,000 atau 2 juta rupiah per bulan. Dari sekian banyak toko yang saya datangi, dua toko itulah yangs secara positif menerima saya, sisanya hanya menyuruh saya untuk mengirimkan CV ke email HRD. 

Pagi harinya saya mulai mempersiapkan CV untuk saya bawa ke Starbuck sebagai syarat melamar pekerjaan. Namun belum sempat saya pergi ke Starbuck saya sudah dihubungi oleh staf Atdikbud KBRI bahwa mereka sedang membutuhkan tenaga tambahan untuk membantu pekerjaan kantor dan menawari saya magang (lagi) selama 3 bulan - sebelumnya saya pernah magang disana selama satu bulan. Saya sangat girang mendapatkan berita tersebut dan akhirnya saya langsung menuju KBRI. Resume yang sebetulnya akan saya gunakan untuk melamar pekerjaan di Starbuck akhirnya saya gunakan untuk mendaftar magang disana. 

Banyak hal yang akan saya pelajari disana. Belajar tentang pembukuan keuangan bulanan, bertemu dengan pejabat-pejabat besar dari India, belajar akan sistem perkantoran, belajar membalas email - ya, membalas email, belajar mengangkat telfon, membuat perencanaan kegiatan, dsb adalah 'makanan' sehari-hari saya. Itu adalah momen pertama kalinya saya tidak menyesal pernah aktif menjadi seorang organisator di kampus lama di Jogja. Menjabat di organisasi ini itu memberikan saya sedikit bekal untuk berurusan dengan dunia administrasi dan perkantoran. 

Saya juga mengajukan diri sebagai seorang penerjemah ke beberapa perusahaan penerjemah di India. Saya melamar sebagai freelance translator untuk English - Bahasa Indonesia dan sebaliknya. Saya mengumpulkan informasi hampir 25 perusahaan penerjemah di India. Saya kumpulkan email mereka dan saya kirimkan CV saya ke 25 perusahaan tersebut. Dari ke 25 perusahaan, hanya satu yang akhirnya menerima saya dan bekerja dengan saya hingga sekarang. Sisanya tidak membalas email saya sama sekali. Saya mendapatkan posisi sebagai freelance translator, hinga sekarang, dan tambahan penghasilan yang saya dapatkan juga bisa dibilang lumayan, mengingat saya bisa melakukan pekerjaan tersebut di kamar dan hanya bermodal kamus digital.

Saya mulai bisa merasakan bahwa Allah sudah mulai membukakan jalan untuk saya belajar lebih luas lagi - tidak hanya sekedar belajar di kampus. Tidak ada jalan lain kecuali bersyukur dengan yang sudah terjadi. Saya bahkan bersykur pernah kehilangan kesempatan emas tersebut, karena saat ini saya bisa belajar apa yan memang menjadi passion saya, sains. Belajar buat saya menjadi sebuah kenikmatan jika saya memang cinta dengan yang saya pelajari. Saya bisa merasakan nikmatnya masih bisa kuliah, karena sebelumnya saya pernah berada pada titik dimana saya tidak bisa belajar sama sekali. Saya sudah tidak lagi mengeluh karena letihnya belajar atau kuliah, karena sebetulnya jauh lebih meletihkan saat tidak mendapat kesempatan untuk belajar.  

Saat ini saya sedang proses menyelsaikan membaca buku Mastery oleh Robert Greene. Singkatnya, Greene mengajarkan kita how to be a master of something. Tidak hanya sekedar teori yang dijelaskan namun lebih banyak pada kisah-kisah para The Masters, seperti Mozart, Marie Curie, Albert Einstein, Charles Darwin, dsb. Dari semua kisah-kisah para master tersebut, satu hal yang dipunyai oleh semua master adalah passion. Passion yang dimaksud disini adalah lebih kepada inner calling  atau inclination  atau kecenderungan kita terhadap sesuatu. Para master tersebut mengikuti inner calling mereka dan diwujudkan dalam ketekunan. Tahap paling awal yang menjadi modal utama untuk menjadi master dalam sesuau adalah, kita harus menemukan inner calling tersebut. Inner calling bersifat bebas dan tidak terpengaruh pada hal-hal lain seperti uang, jabatan, atau kekayaan. Beberapa hari ini saya merenungi dan mencoba untuk memunculkan inner calling  tersebut dari diri saya. Saya meyakini bahwa inner calling saya memanglah hal-hal yang mengarah pada sains, saya sangat senang melakukan observasi terutama dengan mikroskop. Inner calling tersebut kini semakin jelas dan nyata. Jika ingat kejadian lama yang saya alami, saya merasa sangat bersyukur pernah kehilangan kesempatan emas tersebut. 

***