Menjadi Seorang Muslimah di India

October 15, 2017 3 Comments


Kehidupan beragama adalah salah satu kekhawatiran saya saat hendak berangkat ke India. India memang negara pertama yang saya kunjungi  jadi bisa dibayangkan sekian banyaknya ketakutan, keraguan, dan kekhawatiran yang saya alami saat itu. Saat itu saya belum mengenal PPI India (Perhimpunan Pelajar Indonesia di India) atau blog-blog mahasiswa Indonesia di India. Jadi gambaran kehidupan di India yang saya tahu hanya sebatas dari Wikipedia. 

Menjadi seorang muslim di negara yang minim penduduk muslim memang menjadi tantangan tersendiri. Apalagi bagi perempuan yang berjilbab dimana jilbab merupakan simbol agama. Akan sangat mudah mengidentifikasi kepercayaan seorang perempuan yang berjilbab dibandingkan dengan seorang laki-laki yang juga seorang muslim. Karena bisa dibilang hampir tidak ada simbol agama yang kentara yang melekat pada laki-laki. Sehingga lebih sulit untuk menebak apalagi men-'judge' laki-laki. 

Menjadi muslim di India tentu tidak semenegangkan di Eropa karena menurut statistik India merupakan negara dengan populasi muslim terbanyak ketiga di dunia. Namun 'prestasi' tersebut tidak juga memuaskan karena jumlah penduduk muslim di India hanya mencakup 13% dari total penduduk. Which is sama aja bohong!

Secara umum menjadi seorang muslim di India, terutama perempuan, tidaklah sulit. Tentu saja pertanyaan seperti "Why are you always covering your head?" atau "Why do you never show your hair?" akan masuk dalam jajaran Frequently Asked Questions (FAQ). Mereka bahkan tidak tahu bahwa saya adalah seorang muslim padahal saya selalu mengenakan jilbab yang notabennya adalah simbol agama. Banyak yang langsung menyadari bahwa saya muslim namun ada juga yang masih bertanya-tanya. Saya malah pernah beberapa kali dikira orang Hindu oleh penduduk lokal. 

Akses untuk makanan halal sangatlah mudah mengingat penganut Hindu kebanyakan vegetarian. Namun bagi yang ingin sesekali masak daging tentu perlu diperhatikan tempat membeli daging tersebut. Alangkah lebih baik mencari penjual daging yang juga seorang Muslim. Disekitar tempat tinggal saya belum saya temukan penjual daging halal. Biasanya saya akan order ayam secara online dengan menggunakan aplikasi. Beberapa daging biasanya akan tertulis 'Halal cut'. Perlu diingat juga bahwa daging yang saya maksud tentu tidak termasuk daging sapi sebab sapi merupakan bagian dari agama mereka. Sudah seharusnya kita menghormati kepercayaan mereka layaknya mereka menghormati kita.

Akses tempat ibadah tentu menajadi sangat vital apalagi saat kita sedang bepergian. Bagi laki-laki masalah tempat ibadah tentu tidak begitu berarti hanya saja terkadang agak sulit mencari masjid sebab jumlah masjid di India tidak sebanyak di Indonesia. Namun bagi perempuan, boro-boro nemu masjid, masuk masjid saja kadang kita nggak boleh. Tentu saja dari kesekian banyak masjid yang tidak 'menerima' perempuan, ada yang menerima perempuan. Di Delhi sendiri yang saya tahu hanya Jama' Masjid Nizamuddin yang memeperbolehkan perempuan untuk beribadah. Mecca Masjid di Hyderabad juga mengizinkan perempuan untuk beribadah itupun jika kita mengenakan celana kita tidak diperbolehkan untuk masuk. Teman perempuan India saya yang juga muslim pernah mengatakan bahwa perempuan wajib sholat dirumah. Saya tidak terlalu mengerti apakah ini berkaitan dengan mazhab di India yang cenderung Hanafi? 

Bulan Ramadhan tentu menjadi bulan yang sangat berarti bagi masyarakat muslim. Sensasi-sensasi Ramadhan yang biasa kita rasakan di Indonesia tentu tidak akan ada lagi di Indonesia. Tidak ada panggilan sahur berkumandang, apalagi suara bedug Maghrib. Suatu keberuntungan jika kita bisa tinggal di lokasi yang dekat dengan masjid atau di area muslim karena kita bisa mendengarkan suara azan setiap saat. Namun, bagi saya yang selalu jauh dari masjid, tentu alarm sahur dan azan maghrib dari aplikasi smartphone menjadi sahabat setia dikala puasa. Bulan Ramadhan yang selalu jatuh pada musim panas tentu menjadi halang rintang tersendiri. Manahan lapar dahaga pada suhu nyaris 40 derajat atau bahkan lebih mulai pukul 04.00 - 19.30 (India Utara e.g. Delhi) atau 04.15 - 19.00 (India Selatan e.g. Hyderabad) tentu tidaklah mudah. Keteguhan hati dan keistiqomahan tentu menjadi komposisi vital dalam menunaikan ibadah puasa. 

Hari raya Idul Fitri dan Idul Adha tentu menjadi momen kemenangan bagi setiap muslim. Perayaan Idul Fitri dan Idul Adha tentu tidaklah sekhidmad di Indonesia. Bagi yang berdomisili di New Delhi dan sekitarnya tentu perayaan ini bisa kita rasakan di Kedutaan Besar RI. Bagi berdomisili di kota lain tentu sholat eid menjadi sebuah kebingungan tersendiri. Pasalnya, perayaan Idul Fitri dan Idul Adha di Indonesia selalu satu hari (kadang dua hari) lebih cepat dari pada India. Alhasil tidak jarang kami mahasiswa Indonesia tidak melaksanakan sholat eid karena ada kuliah. Namun banyak juga dari kami yang membolos dan membuat acara kumpul-kumpul sendiri dengan mahasiswa Indonesia. (P.S. Malam takbiran Ramadhan tahun lalu saya dikamar mengerjakan laporan praktikum Kimia sambil mendengarkan gema takbir dari YouTube) 

Saya sangat bersyukur bahwa rata-rata orang India sangat open-minded dalam hal agama. Selama saya berkuliah di India, saya tidak pernah mempunyai masalah yang berkaitan dengan agama. Saya juga tidak melihat adanya diskriminasi di perguruan tinggi tempat saya belajar dan so far belum ada cerita negatif dari teman-teman Indonesia disini terkait rasisme atau diskriminasi di kampus. Kebetulan semua dosen saya adalah Hindu dan saya adalah satu-satunya Muslim di kelas namun hal tersebut sama sekali tidak mempengaruhi proses belajar disini.