PENGALAMAN TES IELTS DADAKAN

September 05, 2019 6 Comments

Kali ini saya ingin bercerita agak panjang tentang ujian yang saya hadapi beberapa minggu yang lalu. Tepat pada tanggal 17 Agustus 2019 dimana semua orang merayakan kemerdekaan dengan berbagai macam lomba saya merayakannya dengan ujian.  Tulisan ini akan saya buat agak detail karena saya betul-betul ingin berbagi pengalaman mulai dari pre-, during, dan post-test. So, you might wanna grab some snacks and enjoy reading :)

Alasan Memilih IELTS
Sejak masih di India saya memang selalu ingin merasakan tes Bahasa Inggris yang beneran. Terakhir saya mengikuti tes sekitar lima tahun yang lalu sebelum saya berangkat ke India. Itupun hanya TOEFL ITP. Saya memilih IELTS ketimbang TOEFL IBT melalui beberapa pertimbangan. Salah satunya adalah untuk IELTS biasanya dilakukan dengan paper-based yang artinya kita akan menuliskan jawaban pada kertas yang sudah disediakan dengan menggunakan pensil (walaupun belum lama ini sudah ada computer-based IELTS namun belum terlalu popular). Sedangkan untuk TOEFL IBT semua kegiatan ujian dilakukan dengan computer. Saya adalah tipe yang lebih senang menulis dengan tangan ketimbang megetik. 

Pertimbangan terbesar memilih IELTS adalah speaking test nya. Untuk IELTS, saat speaking session kita akan langsung berhadapan dan ‘ngobrol’ dengan penguji sedangkan untuk TOEFL IBT kita akan ‘ngobrol’ dengan komputer. Saya pribadi lebih senang diuji oleh penguji langsung karena jika ada pertanyaan yang sekiranya kurang jelas saya bisa meminta penguji untuk mengelaborasi atau mengulangi pertanyaan. Meminta penguji untuk mengulangi atau menjelaskan maksud pertanyaan tidaklah masalah dan tidak akan mengurangi nilai. Terkait speaking test akan saya jelaskan juga pada tulisan ini.

Mendaftar Ujian IELTS
Saya pribadi sebetulnya nyaris tidak percaya bisa mendapatkan rezeki kesempatan dan materi untuk mengikuti ujian IELTS ini. Awalnya saya berencana untuk ikut TOEFL ITP saja karena jauh lebih murah (Rp 550.00) dan toh saya niatnya mau kuliah di dalam negeri jadi kayaknya sayang kalau kuliah di dalam negeri saja pake IELTS karena pake TOEFL ITP saja boleh. Untuk biaya tes IELTS sendiri 2.9 juta rupiah. Jadi bisa dibayangkan sendiri perbedaannya.

Ada dua lembaga resmi penyelenggara tes IELTS yaitu IDP dan British Council. Saya mulai membuka website IDP mencari jadwal ujian untuk wilayah Yogyakarta. Ternyata jadwal ujian untuk bulan Agustus sudah fully booked. Kemudian saya membuka website British Council Indonesia dan Alhamdulillah masih ada kursi kosong untuk ujian tanggal 17 Agustus. Awalnya saya agak bimbang mau ambil atau tidak karena saya mendaftar pada tanggal 10 Agustus. Itu artinya saya hanya ada waktu belajar satu minggu. Namun akhirnya ‘ah sudahlah daftar dulu saja buat booking kursinya sebelum diambil orang’. Benar saja, setelah saya daftar, kuota untuk ujian tanggal 17 Agustus habis. Deg. Batin saya ‘berarti aku pendaftar terakhir dong’.
 
Untuk pendaftaran ujian di British Council awalnya kita harus membuat akun di website British Council dengan email aktif kita. Setelah itu kita akan diminta untuk mengisi formulir yang cukup panjang. Salah satu hal yang membuat saya berani booking dulu kursi ujian adalah setelah pendaftaran online kita diberi waktu maksimal tiga hari untuk melakukan pembayaran. Jika lebih dari tiga hari kita tidak melakukan pembayaran maka slot akan dirilis lagi.  Selama tiga hari itu benar-benar saya gunakan untuk berkontemplasi dan menimbang-nimbang jadi atau tidak jadi. Alhamdulillah karena ada jalan dan ridha orang tua akhirnya pada hari ketiga bismillah saya lunasi pembayaran dengan transfer melalui m-banking. Bukti pembayaran kemudian saya submit di akun. Setelah 3 hari saya mendapat email dari British Council Indonesia terkait jadwal dan lokasi ujian. Lokasi ujian adalah di ballroom Hotel Harper. Ujian dilakukan dari jam 9 pagi sampai jam 12. Sedangkan untuk jadwal speaking saya kebagian sehari setelah ujian yaitu tanggal 18 Agustus jam 10 pagi. 

Persiapan Ujian IELTS
Berhubung  persiapan hanya satu minggu, saya benar-benar gunakan untuk melatih skill kebahasaan yang menurut saya kurang menguasai; listening session. Secara umum sebetulnya saya tidak ada masalah atau kendala untuk listening ataupun British accent, yang membuat saya harus melatih listening adalah karena saya bukan orang yang detail-oriented. Saya tipikal big-picture person, meaning  saat membaca, mendengar, atau melihat permasalahan cenderung melihatnya sebagai satu kesatuan ide utuh ketimbang memperhatikan detail dan tetek bengeknya yang bisanya malah bikin rumit. Sehingga saat listening, saya harus belajar untuk fokus dan memperhatian setiap kata yang saya dengar, yang mana menurut saya itu cukup melelahkan karena selama 40 menit harus betul-betul membuang segala distraksi dan fokus harus pada listening saja.

Hal pertama yang saya lakukan untuk persiapan adalah membeli buku. Niatan saya saat itu adalah membeli buku IELTS Cambrige, namun ternyata sangat sulit mendapat buku itu. Entah kenapa. Hampir semua buku latihan IELTS yang saya temui adalah terbitan Indonesia dimana listening practice nya orang Indonesia. Setelah mengunjungi beberapa toko buku akhirnya saya mendapatkan modul IELTS terbitan Barron. Saya kurang tahu apakah modul Barron bagus untuk IELTS karena sependek yang saya baca Barron lebih recommended untuk TOEFL. Tapi ya sudah lah ya sudah kepepet kok. Lol. 

Saya menargetkan untuk menyelsaikan semua listening practice pada buku selama tiga hari. Selama tiga hari itu, pagi, siang, dan malam hanya saya gunakan untuk latihan listening. Tiga hari selanjutnya saya gunakan untuk latihan reading dan writing.

Latihan reading saya gunakan untuk memperbanyak skimming bacaan. Sangat tidak disarankan untuk membaca setiap kata pada ujian reading karena waktu kita hanya akan habis untuk membaca.

D-day IELTS Test
Ujian dimulai pagi hari pukul 9 hingga 12 siang sehingga sangat dianjurkan untuk sarapan terlebih dahulu. Saya siap-siap lebih pagi agar bisa santai ngeteh atau ngopi dulu dirumah untuk menenangkan pikiran supaya santai di perjalanan dan tidak grogi. Saya sampai di ballroom Hotel Harper pukul 7.30 dan ternyata sudah cukup banyak yang hadir dan menunggu di waiting room. Saya lihat ke kanan kiri dan agak ciut ketika banyak peserta ujian yang masih belajar dan membaca di momen last minutes tersebut.

Saya sebetulnya agak khawatir dengan diri saya sendiri saat itu karena sejak satu minggu hingga D-day ujian saya merasa santai. Sejujurnya saya ingin merasa sedikit grogi dan sedikit khawatir demi untuk memacu semangat belajar. Saya sudah berusaha memunculkan perasaan tersebut dengan mengingat-ingat betapa mahalnya ujian ini. Namun perasaan pasrah dan mindset ‘jalani aja lah’ lebih mendominasi. Tes ini memang sangat dadakan buat saya apalagi saya masih dalam momen menikmati istirahat dirumah setelah lima tahun di India kuliah dan bekerja dan baru pulang bulan Juli kemarin. Intinya saya masih males mikir.

Saya ngobrol dengan beberapa peserta. Ada yang sudah mendaftar ujian sejak dua bulan yang lalu, ada yang sudah beberapa kali ikut tes IELTS, ada juga yang sampai jadi musafir dari Jawa Tengah ke Jogja demi ikut ujian IELTS. Ada juga yang sudah kursus IELTS sampai ke Pare. Di momen tersebut saya merasa usaha saya gak ada apa-apanya dibandingkan peserta lainnya. Disitulah saya mulai grogi.

Sebelum masuk ke ruang ujian semua peserta wajib melakukan daftar ulang dengan menunjukkan ID card yang digunakan untuk mendaftar online. Saat daftar ulang kita juga akan diminta untuk pemindaian sidik jadi dan foto. Setelah selesai daftar ulang setip peserta akan diantar oleh pengawas ujian menuju tempat duduk. Segala macam elektronik termasuk jam tangan harus disimpan dalam tas dalam kondisi non-aktif. Semua tas akan dikumpulkan di tempat yang sudah disediakan. Hanya ID card yang boleh dibawa bersama peserta selama ujian. Perlengkapan menulis seperti pensil dan penghapus sudah disediakan diatas meja. Bahkan air minum botol juga sudah disediakan di meja masing-masing.

Listening Section – Terdapat empat bagian dan 40 butir pertanyaan pada sesi ini. Bagian pertama adalah dialog sederhana antara dua orang dengan topic kehidupan sehari-hari. Bagian kedua adalah monolog dengan topik kehidupan sehari-hari. Saya betul-betul tidak ingat dengan topik listening untuk sesi pertama dan kedua. Untuk bagian ketiga adalah percakapan oleh dua orang atau lebih dengan topic yang berkaitan dengan akademik. Saya mendapatkan topic tentang dua orang mahasiswa yang sedang membahas langkah-langkah dalam melakukan penelitian. Sesi terakhir adalah monolog yang berkaitan dengan topic akademik.  Saya mendapat topic tentang salah satu tumbuhan Indonesia, tidak disebutkan nama Indonesianya, hanya disebutkan nama ilmiahnya saja. Jawaban biasanya hanya berupa huruf, angka, atau frasa yang tidak lebih dari tiga kata. Sesi ini memakan waktu sekitar 30 menit. Setelah itu kita diberi waktu tambahan 10 menit untuk memindahkan jawaban dari boklet pertanyaan ke lembar jawab. Itu yang saya suka dari paper-based, bisa corat coret kertas soal nya :D

Kendala saya saat sesi ini adalah speaker atau sound system yang menurut saya kurang jernih. Ketika berlatih dirumah saya merasa tidak ada kendala dan bisa mengerjakan semua listening practice hanya dengan mendengarkan rekaman dari handphone. Namun di ruang ujian ada beberapa speaker yang cukup besar yang menyebabkan suara akan cenderung memantul ke tembok dan menggema.

Reading Section – saya tak menyangka sesi ini akan lebih melelahkan dari pada sesi listening. Semua bacaan pada reading practice di buku Barron tak sepanjang saat tes sunguhan. Bahkan panjang bacaan saat tes beneran bisa sampai 2x panjang bacaan di buku latihan hiks L. Pantas saja kok saat latihan satu teks bisa saya selesaikan kurang dari lima menit.

Sesi ini memakan waktu sekitar 60 menit. Kedengarannya cukup banyak waktu yang diberikan namun prakteknya saya merasa itu sangat pendek. Sumber bacaan yang diambil biasanya dari buku, koran, atau jurnal dengan topic yang agak berat atau ilmiah namun masih memungkinkan dipahami oleh kalangan umum. Ada 3 teks bacaan dengan total pertanyaan 40 butir. Sangat disarankan untuk menyelsaikan satu teks dan pertanyaannya selama 20 menit. Dalam 20 menit, 10 menit usahakan untuk membaca dan sisa 10 menit untuk menjawab pertanyaan yang jumlahnya sekitar 10-13 butir. Tingkat kesulitan bacaan akan semakin meningkat jadi betul-betul saya patuhi saran tersebut. Selesai tidak selesai kalau sudah habis 20 menit saya akan langsung pindah ke bacaan selanjutnya. Jangan berfikir untuk ‘mencuri’ waktu di 20 menit kedua untuk menyelesaikan bacaan pertama karena nantinya akan membuat kita semakin keteteran. 

Tips dari saya untuk sesi ini adalah kuasai teknik membaca cepat (skimming dan scanning). Saya pribadi merasa beruntung karena selama di India selalu menggunakan teknik ini untuk belajar persiapan ujian. Karena teknik ini lebih bertujuan untuk memahami gagasan pokok teks dalam waktu singkat, sehingga sangat mungkin sekali kita melewatkan detail penting pada bacaan. Hal tersebut saya antisipasi dengan menggaris bawahi dengan cepat frasa atau kata penting. Menggaris bawahi frasa atau kata sangat membantu saat menjawab pertanyaan agar kita perlu membaca kembali bacaan. Kita tidak perlu lagi membaca sebuah paragraph dari awal hanya untuk mencari detail. Cukup lihat saja frasa atau kata yang bergaris bawah. Tidak masalah jika boklet kita penuh dengan garis bawah. Hal tersebut masih tetap lebih praktikal dari pada kita kebingungan dimana letak jawaban yang kita cari dengan membaca lagi paragraph atau bacaan dari awal.Saya sangat menghindari membaca ulang paragraph apalagi teks agar setelah selesai membaca kita tinggal fokus menjawab dan sesekali menilik detail yang sudah saya garis bawahi. Sangat membantu juga untuk membaca pertanyaan sebelum membaca teks.

Strategi ini saya pikirkan dan lakukan setelah saya menyadari pada bacaan pertama bahwa 10 menit tidak cukup untuk membaca teks sepanjang 1.5 nyaris 2 halaman A4 dengan spasi 1. Sesi ini pun menjadi sesi paling sulit buat saya karena saya berekspektasi bahwa bacaan yang akan disuguhkan akan mirip seperti yang saya pelajari di buku latihan. Dimana di buku Barron saya bisa selesai membaca dan menjawab pertanyaan 10-15 menit.

Saya merasa lelah setelah mengerjakan reading section. Ada waktu istirahat tidak lebih dari 10 menit yang bisa digunakan untuk minum atau ke toilet. Saya gunakan waktu tersebut untuk minum dan tepar di meja setelah satu jam mata menegang XD

Writing Section – belum tuntas penat pengawas ujian sudah membagikan lagi booklet dan lembar jawab untuk writing test. Ada 2  butir soal dan waktu yang diberikan adalah 60 menit. Disarankan untuk mengerjakan writing test bagian pertama selama 20 menit dan bagian kedua 40 menit. Bobot soal bagian kedua 2x lebih besar dari bobot soal pertama. 

Bagian pertama adalah mendeskripsikan sebuah tabel tentang besaran pendapatan masyarakat Inggris berdasarkan usia dan tingkat pendidikan. Bagian kedua adalah menulis teks argumentative dengan topik food packaging di supermarket. 

Tantangan saya pada sesi ini adalah lagi-lagi karena selama kuliah di India saya sudah tebiasa menulis jawaban hingga 25 halaman. Jadi saat tes IELTS saya harus lebih berfokus pada bagaimana menulis topic yang sangat umum tidak lebih dari 2 atau 3 halaman. Fokus saya saat ujian menulis adalah membuat tulisan yang isinya padat dengan kosa kata yang lebih variatif dan fancy serta sesedikit mungkin pengulangan kata. 

Namun ya bagaimana lagi yak, insting menulis berlembar-lembar selalu membara ketika melihat soal esai. Dan saya sama sekali tidak berlatih untuk writing karena menurut saya writing dan speaking itu kakak-adek. Keduanya harus dilatih dan dibiasakan dan prosesnya tidak sebentar. Jadi saya pikir kalau mau latihan writing dan speaking dadakan ya itu tidak akan terlalu membantu saat ujian. Alhasil karena tidak latihan writing, saya satu-satunya peserta yang minta additional answer sheet saat writing section. Itu bukan menyombongkan diri, tapi justru karena saya kurang terlatih membuat tulisan yang padat. Bukan berarti tulisan saya ngelantur atau out of topic yang membuatnya menjadi panjang, tapi saat menulis entah kenapa saya cenderung sangat detail. 

Speaking Section – saya kebagian jadwal sesi speaking di hari selanjutnya. Ujian speaking pukul 9.30 dan saya sudah harus ada di waiting room 30 menit sebelumnya. Saya satu-satunya peserta di waiting room. Saya pikir saya peserta terakhir namun ternyata setiap peserta memang mendapat jam speaking test berbeda disesuaikan dengan gilirannya. Hal tersebut untuk menghindari keramaian saat ujian berlangsung.

Setelah peserta di dalam ruang ujian keluar, pengawas ujian memanggil nama saya dan mempersilakan masuk. Saya disambut oleh seorang penguji yang sangat ramah. Penguji adalah seorang bapak asli Inggris yang usianya sekitar 40-45 tahun. Kami sempat bercanda diawal sebelum tes dimulai dengan beliau agar saya lebih santai dan rileks. Walaupun prakteknya tetap saja saya grogi :D

Sesi ini berlangsung selama 15-20 menit. Pertama saya diminta untuk memperkenalkan diri dan beliau menanyakan pertanyaan seputar diri saya seperti ‘Where are you from?’ , ‘What do you do? Are you studying or doing job?’, dsb. Beliau sempat menanyakan tentang jurusan kuliah saya dan bagaimana cara saya belajar agar sukses dalam studi. Setelah itu beliau sempat menanyakan ketertarikan saya untuk mengikuti kursus fotografi. 

Sesi selanjutnya adalah saya diberi sebuah buku yang berisi topik yang harus saya sampaikan. Saya mendapat topic tentang cara menjaga kesehatan. Penguji memberi saya kertas dan pensil untuk membuat outline penjelasan yang akan saya sampaikan. Saya diberi waktu satu menit untuk membuat coret-coretan topic tersebut. Setelah itu saya dipersilahkan untuk berbicara selama 2 menit dan menyampaikan apa yang sudah saya rangkum. Salah satu yang saya senang dari ujian speking IELTS adalah, ketika saya sudah kehabisan ide untuk berbicara, penguji biasanya akan memancing dengan pertanyaan yang membuat saya langsung kepikiran bahan pembicaraan baru. Misalnya ketika saya menjelaskan tentang cara menjaga kesehatan setelah 1.5 menit saya diam sejenak karena kehabisan ide, penguji lalu bertanya ‘What about drinking water? Do you think it will help?’ batin saya langsung ‘oh iya kenapa gak kepikiran wkwkwk’. Langsung saya menjelaskan bahwa minum air sangatlah penting dan saya sempat menjelaskan beberapa manfaat minum air.

Pasca Ujian IELTS
Hasil ujian bisa dilihat setelah dua minggu di web dengan memasukkan ID card number, candidate number, date of birth, dan date of exam. Sedangkan untuk sertifikat akan dikirimkan ke alamat masing-masing. Sedikit yang pernah saya baca kalau hasil ujian kita dibawah 5 maka kita hanya mendapatkan surat keterangan. Namun jika diatas 5 kita akan mendapatkan sertifikat. CMIIW. 

Sejak awal saya sudah realistis dan sadar bahwa IELTS adalah ujian serius yang belajarnya tidak bisa dibuat bercandaan atau dadakan. Saya pun tidak menyangka saya mendapatkan kesempatan untuk ‘mencicipi’ ujian mahal ini satu minggu sebelum D-day. Cita-cita saya adalah mengikuti ujian IELTS dengan persiapan yang matang yaitu dengan belajar maksimal, mengikuti ujian simulasi IELTS, kursus IELTS,  dsb. Tidak pernah terpikir untuk ikut ujian IELTS sesegera ini karena awalnya saya memang mau ikut TOEFL ITP.

Benar saja setelah dua minggu tepatnya tanggal 30 Agustus hasil ujian sudah bisa dilihat online. Alhamdulillah saya mendapat skor 6.5 cukup lah kalau mau daftar UGM (Mohon doa dari teman-teman). Sedangkan untuk sertifikat saya terima dirumah pada tanggal 4 Agustus.



Semoga tulisan ini bermanfaat. 

Tabik,

Rahma S

Mendidikan Diri di Anak Benua

June 10, 2019 Add Comment

Graduation Ceremony by PPI Hyderabad


 Pertanyaan terpopuler selama saya menempuh pendidikan di India adalah, ‘Kenapa memilih India?’. Jawaban saya sederhana, karena Bahasa Inggris saya biasa saja. Kepercayaan diri saya tidak sehebat itu jika harus kuliah di Eropa dengan modal bahasa rata-rata. Maka dari itu sebisa mungkin saya mencari negara tujuan belajar dimana Bahasa Inggris bukan menjadi bahasa ibu namun menjadi bahasa resmi negara tersebut.  Jika saya kuliah di negara dimana Bahasa Inggris bukanlah bahasa ibu, maka mereka akan lebih memahami saat tata bahasa Inggris saya kurang pas ataupun tenses yang salah, karena saya  bukan English native speaker, begitu pula dengan mereka.


Saya merasa kuliah di India merupakan batu pijakan untuk bisa kuliah di Eropa. Jarang sekali ada beasiswa S-1 luar negeri. Oleh karena itu ketika ada pembukaan beasiswa India untuk S-1 sampai S-3 tanpa banyak basa-basi saya langsung mendaftar.

India dalam Sejenak
India, negara berpenduduk lima kali lebih banyak dari pada Indonesia, sesungguhnya (dan memang sebetulnya) mempunyai ikatan cukup erat dengan Tanah Air beta. Walaupun latar belakang saya adalah sains, tapi saya pernah kok kenalan dengan cabang ilmu yang disebut Sejarah. Si Sejarah bercerita bahwa mantan Perdana Menteri India, Pandit Jawaharlal Nehru, pernah berkarib dengan Ir. Soekarno. Mungkin tak boleh dilupakan juga bahwa Bahasa India kuno, Sansekerta, pernah diadopsi oleh negara kita dalam rangka pemberian nama Indonesia.

Selain Bollywood, banyak ‘kemewahan’ yang ditawarkan oleh negara ini. Siapa yang sangka bahwa Negeri Pak Gandhi ini pernah melakukan Mars Orbiter Mission termurah? Tak hanya itu, sembilan warga negara India pernah menerima penghargaan Nobel. Angka yang bisa dibilang lumayan untuk negara yang (masih) berkembang. Mantan negara jajahan Inggris ini juga tak kalah saing di dunia Multinational Corporation. Tak sedikit nama-nama India yang masuk dalam jajaran CEO, seperti Satya Nadella (CEO Microsoft), Shantanu Narayen (CEO Adobe) dan lain sebagainya. India juga sudah punya angkutan umum metro atau subway yang sangat bagus dan murah. Mobil asli India, Tata Nano, pun sudah ‘berkeliaran’ dimana-mana. Dua bandara internasional India, Indira Gandhi International Airport (New Delhi) dan Chhatrapati Shivaji International Airport (Mumbai) tahun 2015 lalu dinyatakan sebagai bandara terbaik kedua se-Asia Pasifik setelah  Singapore Changi Airport.

Kuliah Bak Kacang Goreng
Secara umum biaya pendidikan kampus negeri di India lebih murah dari pada kampus negeri di Indonesia. Tak sedikit mahasiswa Indonesia dan mahasiswa asing dari Thailand, Cina, Korea Selatan belajar di India tanpa beasiswa alias self-financing lataran biaya pendidikan dan biaya hidup yang murah. Saya ambil contoh Delhi University, universitas terbaik di India, untuk jurusan sains hanya mematok biaya Rs 19.000 (± Rp 4 juta) per tahun. Untuk jurusan ilmu sosial mahasiswa hanya perlu membayar Rs 7.000 (± Rp 1.4 juta) per tahun untuk jenjang S-1 dan Rs 13.000 (± Rp 2.6 juta) per tahun untuk jenjang S-2. Kampus favorit lain adalah Jawaharlal Nehru University (JNU) yang hanya mematok biaya maksimal USD 750 per tahun untuk program sains jenjang S-2 dan S-3. Biaya tersebut adalah biaya untuk mahasiswa asing. Untuk warga lokal sendiri, di JNU, cukup dengan Rs 300 (± Rp 60 ribu) per tahun sudah bisa kuliah S-2. Kampus JNU hanya membuka program S-2 dan S-3.

Selain biaya kuliah yang sangat murah, biaya buku pun tak kalah murahnya. Kami mahasiswa Indonesia tak perlu lagi repot-repot mencari buku bajakan. Untuk kualitas buku tak perlu diragukan. Buku-buku terbitan Oxford University Press, Cambridge University Press, Mc Graw Hill, Willey, sudah bisa ditemukan dimanapun bahkan di toko buku kecil sekalipun. Buku Microbiology oleh J. Pelczar, JR terbitan Mc Graw Hill Education setebal hampir seribu halaman bisa didapat hanya dengan Rp 135 ribu. Buku-buku terbitan India sendiri juga tak kalah bagusnya. Buku-buku kuliah terbitan India rata-rata ditulis oleh para dosen yang sudah S-3 bahkan postdoctoral. Rata-rata aktivitas dosen-dosen disini selain mengajar adalah menulis buku. Tak sedikit dosen saya yang sudah menerbitkan banyak buku. Saya pribadi lebih senang dengan buku-buku karangan dosen India karena harganya lebih murah, walaupun buku terbitan internasional juga murah, dan penggunaan Bahasa Inggris yang lebih simpel sehingga mudah dipahami.

Menimba Sains di India
Saya masih ingat hari pertama kuliah, jujur saja, saya merasa seperti orang yang tidak pernah sekolah. Hal pertama yang cukup membuat saya syok adalah scientific English. Selama saya sekolah di Jogja, fokus saya belajar Bahasa Inggris hanya sebatas kemampuan berkomunikasi secara umum. Kalau saya tidak kuliah di India mungkin saya tidak akan pernah tau bahwa Bahasa Inggris nya Alkana adalah Alkane, Alkena adalah Alkene, and Alkuna adalah Alkyne. Itu hanya sebagian kecilnya saja. Hingga sekarang saya masih terus belajar untuk itu. Teman saya orang Indonesia yang juga anak sains pun menghadapi permasalahan yang sama terkait scientific English. Walaupun saat itu saya dan teman-teman India saya sama-sama baru lulus SMA, namun saya merasa pengetahuan mereka khusunya tentang sains jauh melampaui saya. Padahal saat di Indonesia, saya sekolah di SMA negeri di Yogyakarta, yang notaben nya adalah Kota Pendidikan, dan sekolah saya termasuk lima besar SMA negeri terbaik di DIY saat itu.

Satu hal yang cukup menggembirakan tentang India bagi para penggemar ilmu eksak adalah spesifikasi jurusan. Jurusan ilmu alam untuk jenjang S-1 di India menurut saya cukup variatif. Tidak hanya sekedar Biologi, Kimia, atau Fisika namun sudah lebih spesifik seperti Genetics, Biotechnology, Microbiology, Biochemistry, Biomedical Sciences, Botany, Zoology, Molecular Biology, dsb. Saya pernah cek di NTU dan NUS untuk jurusan sains jenjang S-1 dan S-2 tak sevariatif disini.

Sistem jurusan interdisipliner pun tersedia di kampus India. Misal di kampus saya sendiri ada beberapa kombinasi jurusan yang bisa diambil antara lain Microbiology, Genetics, and Chemistry (MGC), Microbiology, Biochemistry, and Chemistry (MBiC), Biotechnology, Genetics, and Chemistry (BtGC), Mathematics, Physics, and Computer (MPC); Electronics, Mathematics, and Computer (EMC), dsb. Saya pribadi melihat sistem jurusan kombinasi ini sangatlah bagus mengingat saat ini kita hidup di era interdisipliner. Walaupun demikian tak menutup kemungkinan juga jika ingin fokus pada satu disiplin ilmu saja sebab program honors pun banyak tersedia.

Menyandang gelar Ph.D nampaknya bukan lagi jadi barang mewah di India. Tak heran jika hampir semua dosen disini sudah mengantongi gelar Ph.D bahkan Postdoctoral. Sejak semester pertama pun kami sudah ‘disuguhi’ dengan dosen-dosen hebat. Satu hal yang saya senang dengan dosen India adalah, mereka tidak pernah absen mengajar. Mereka hanya mengajar di satu tempat jadi sangat mudah untuk menemui dosen kapanpun jika dibutuhkan. Dua tahun saya belajar di India belum pernah menemukan dosen yang sibuk mengajar sekaligus melakukan penelitian atau proyek. Biasanya mereka akan mengajukan izin cuti untuk penelitian supaya bisa digantikan oleh dosen lain.
Masalah bahasa saya yakin semua mahasiswa Indonesia mengakui bahwa India sudah jauh lebih baik dalam kemampuan berbahasa Inggris. Di kelas saya sendiri masih ada satu atau dua orang yang belum bisa berbicara dalam Bahasa Inggris dengan lancar. Walau demikian, mereka tidak malu untuk berbicara dalam Bahasa Inggris walaupun belum terlalu fasih. Dalam hal menulis, membaca, dan mendengar secara umum mahasiswa disini sudah lancar sebab saat ujian pertanyaan dan jawaban ditulis dalam Bahasa Inggris. Buku pelajaran dan kegiatan belajar mengajarpun semua dalam Bahasa Inggris.

Perkuliahan Sehari-hari
Perkuliahan disini cukup padat. Tak seperti kampus di Indonesia pada umumnya dimana dalam satu hari hanya ada beberapa kelas saja, perkuliahan disini lebih mirip seperti sekolah. Masuk kuliah setiap Senin - Sabtu pukul 10.00 hingga 16.30. Istirahat setiap jam 11.45 dan 14.00.
Dalam satu hari ada empat kelas teori, masing-masing 60 menit, dan satu kelas praktikum selama 120 menit. Proses belajar mengajar hampir tidak pernah dilakukan dengan proyektor atau LCD layaknya di Indonesia. Disini selalu mengandalkan buku dan papan tulis. Selama 60 menit kelas teori, 40 menit dosen akan menjelaskan dan sisa 20 menit untuk mendikte poin-poin penting. Kami dilarang untuk mencatat saat dosen menjelaskan sebab penjelasan dosen selalu berkaitan dengan pemahaman. Satu mata kuliah teori kami mencatat rata-rata 3-4 halaman. Untuk praktikum di lab dilakukan secara individu. Saat praktikum setiap mahasiswa harus bisa mandiri. Jika ada hal yang belum dimengerti selalu diwajibkan bertanya kepada dosen. Saya pernah kena marah karena bertanya pada teman saat praktikum, bukan pada dosen.

Ada saat dimana saya tidak ada praktikum. Biasanya saya akan ke perpustakaan bersama teman-teman untuk mencari bahan tugas. Penugasan atau assignment disini tidak seperti di Indonesia yang bisa dikerjakan dengan Microsoft Word. Semua tugas yang diberikan dosen harus ditulis tangan. Satu tugas biasanya akan menghabiskan  20-25 halaman kertas HVS A4. Tak heran jika dosen biasanya akan memberikan tugas satu bulan sebelumnya. Perlu diketahui bahwa India sangatlah book-oriented. Google nampaknya tidak terlalu menarik perhatian mahasiswa disini. Jika ada hal yang mereka tidak paham, mereka lebih senang mencarinya di buku dari pada google.

Sistem Ujian Semester
Ujian Akhir Semester (UAS) adalah salah satu topik unggulan saat kita membahas pendidikan India. Sistem UAS untuk jenjang S-1 dan S-2 kurang lebih sama. Tidak hanya bagi mahasiswa Indonesia, bagi mahasiswa lokal pun, ujian selalu menjadi momok tersendiri. Bagi mereka nilai adalah segala-galanya. Tak heran saat mendekati ujian mahasiswa akan belajar mati-matian.
Sistem ujian disini amat kontras dengan Indonesia. Tak jarang saat awal-awal semester mahasiswa Indonesia agak keteteran dalam menyesuaikan. Bentuk ujian disini adalah esai. Satu mata kuliah mahasiswa harus menuliskan jawaban rata-rata 20-30 halaman. Sebetulnya tidak ada jumlah minimal halaman untuk menulis jawaban, namun jenis pertanyaan yang diajukan memang mengharuskan kami menulis sebanyak itu. Waktu yang diberikan tiap mata kuliah di ujian teori adalah 3 jam. Tidak ada waktu istirahat. Tidak ada istilah boleh dikerjakan dirumah.

Bentuk pertanyaan yang diajukan di semua mata kuliah adalah short answer dan long answer. Untuk tipe short answer biasanya saya hanya menulis jawaban sekitar dua halaman sedangkan untuk long answer bisa sampai lima halaman atau lebih. Untuk long answer sebisa mungkin saya menyertakan gambar atau diagram. Gambarpun juga saya buat dengan pensil dan tangan saya sendiri.
Dengan sistem ujian yang sedemikian rupa, kami memang selalu dituntut untuk banyak membaca. Satu bulan sebelum UAS dosen sudah mulai ‘menghantui’ kami dengan kata ujian. Persiapan ujian saya lakukan minimal 1,5 bulan sebelumnya. Satu setengah bulan itupun saya tidak bisa sepenuhnya fokus karena satu bulan sebelum UAS aka nada Internal Exam dan tiga minggu sebelumnya akan ada pre-final practical exam. Pre-final practical exam bisa dibilang seperti simulasi ujian praktek. Ujian praktek sendiri akan dilakukan setelah UAS selesai.

Budaya Belajar
India sangat menghargai mereka yang belajar. Mereka selalu yakin bahwa ilmu pengetahuanlah yang bisa membuat kehidupan lebih baik di masa depan. Seperti yang sudah saya tulis diatas bahwa UAS disini bisa dibilang cukup ‘horor’. Tak heran jika mahasiswa India punya semangat membaca yang luar biasa. Dimanapun kita bisa menemukan orang yang asik berkutat dengan bukunya. Metode belajar SKS (Sistem Kebut Semalam) pun tak berlaku disini. Mahasiswa Indonesia senior, alumni Delhi University, pernah menasehati saya , “Kalau kamu persiapan UAS cuma satu bulan, mending nggak usah ikut ujian. Ikut ujian tahun depan saja.” Kasarannya adalah, jika persiapan UAS hanya satu bulan sudah bisa dipastikan kita tidak lulus.

Pengalaman belajar di negara yang sedang berproses untuk menjadi negara maju menurut saya adalah pengalaman yang luar biasa. Dari situ kita bisa lebih memahami proses dan bentuk kerja keras negara itu dalam membangun negaranya. Jika pengetahuan kita akan India hanya sebatas film Bollywood atau kain sari nya, think again! Di luar sana banyak negara yang justru mengenal India karena roketnya, dokternya, misi ke Mars termurah-nya, CEO-nya, dan lain sebagainya. Dan nampaknya Indonesia perlu mencontoh budaya belajar negara berkembang satu ini. (Rahma S)



Note : Artikel ini pernah dimuat di buletin Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4)

A Poem on Love : The Landlord

March 19, 2019 Add Comment

[PART I]
I found a home,
I found a home, but that home left me.
Another home came to me.
I went inside the home,
and I found a piece of heart.
I stared at it closely.
The heart was glowing like a diamond.
I took the heart with both hands carefully.
Oh! the heart was so delicate,
and warm, and was radiating affection.
I was wondering,
"What kind of heart is this?"
"What kind of home is this?"
Suddenly I remembered my own heart.
I took mine. I was astounded.
Both hearts were fit perfectly to each other like pieces of a puzzle.
I questioned again, "Whose home is this? I want to see the owner of this home."I walked around the home, holding both the hearts looking for The Landlord.
And that time, I saw you, standing nearby the door.
You were heart-less.
And I understood that you were The Landlord.
 
[PART II]
The heart-less Landlord kept staring at me.
His gaze on me like a child who had just seen his mother for the first time.
He came closer and took his heart delicately from my hand.
"You own a powerful heart, Your Majesty. It's been wounded but still radiating warmth and affection," I said.
But The Landlord spoke none.
"Apology. I have committed a sin by displacing it from the nest." Still, he spoke none.
His tongue now pounded louder than his heart.
But still, he spoke none.

I gazed to the window.
The sun began to set upon the lap of The Mother Earth.
I wished a good night to the asleep sun.

"Bring me home. Bring my heart home. I see my home in you. I see The Eden in you." said the Landlord.
But I spoke none.


*******


I wrote this poem exactly one year ago. 

A Poem on Humanity : The Rotating Sphere

March 17, 2019 Add Comment

This world already lacks of love and humanity.
Do not live in that kind of world.
Build your own world.
Decorate it with love, joy, and humanity,
and live in it.
That is the actual world.
The prior is fake,
or you can nickname it, The Rotating Sphere.
If your own world does not have those accessories,
then where will you run when the sphere becomes totally loveless?

We are too busy running for president,
or striving for Nobel Prize by discovering more galaxies,
or memorizing a hundred digits of Pi.
We describe it as civilization.
But pity, within us, are uncivilized.

Be on The Mother Earth. Stay on Her lap.
But do not live it.
Live what is within, and you will be more humane.

****


I love poems since I was 15. I love reading them, but never confident enough to write my own. But when I find the right time, idea, and sense, all those three combinations will suffice to drive me to write one. Most of the time, I will just keep my sketchy poems for myself.

The Rotating Sphere, I think, deserves for publication on my blog. This poem was written as my condolences to the number of terrorist attacks happening nowadays. The latest occurrence was the shooting attack happened in Christchurch, New Zealand on March 15. 


There are some philosophical ideas behind The Rotating Sphere. But the main point that I would like to convey through my poem is, it is always the best to maintain the balance between what we build 'outside' and 'inside'. What we build outside is what we have been doing since ages ago, building on civilization. But what we build inside is the one that we may have just started, that is when we start observing injustice and violence. 


Hyderabad, 17th March 2019


Rahma S

BEASISWA ICCR INDIA UNTUK S1-S3 TAHUN 2020-2021

January 02, 2019 41 Comments

Beasiswa Indian Council for Cultural Relations

(ICCR) 2020-2021

Poster ICCR tahun lalu

Assalamu'alaikum teman-teman :) Mudah-mudahan teman-teman selalu sehat dan masih semangat ya karena saat yang selalu ditunggu-tunggu telah tiba. Yes, benar sekali. Beasiswa pemerintah India ICCR untuk jenjang S1-S3 tahun 2019-2020 akhirnya dibuka. Sudah banyak teman-teman yang menyapa saya di email dan Instagram untuk menanyakan perihal ICCR ini. Baiklah tanpa basa-basi lagi kita mulai saja ya.

Sekilas Tentang ICCR 
Ternyata masih banyak juga teman-teman yang bertanya ke saya "Kak, ada gak sih beasiswa buat ke India?" dan semacamnya. Bagi yang belum kenal dengan Beasiswa ICCR, berikut saya utarakan lagi ya teman-teman. Indian Council for Cultural Relations (ICCR) adalah sebuah badan pemerintahan dibawah Ministry of Foreign Affairs (a.k.a Kemlu). Salah satu program ICCR adalah penyediaan beasiswa belajar di India untuk semua jenjang S1, S2, S3, dan Research untuk semua jurusan kecuali Kedokteran (Medicine) dan Kedokteran Gigi (Dentistry) bagi mahasiswa asing di seluruh dunia. Beasiswa yang diberikan ICCR bersifat full-scholarship.

Beasiswa untuk tahun akademik 2019-2020 sudah dibuka sejak tanggal 1 Desember 2019 hingga 29 Februari 2020

Berkas yang Dibutuhkan
1. Foto ukuran 3.5x4.5 cm backgroud warna putih (untuk di upload di formulir)
2. Marksheet ijazah SMA
3. Marksheet pendidikan sebelumnya (jika mendaftar S2 maka sertakan markseet S1)
4. Physical Fitness yang diisi dan ditanda tangani oleh dokter
5. Surat rekomendasi dari sekolah atau kampus
6. Unique ID (Bisa pakai KTP)
7. Sinopsis bagi pendaftar S3

Note: Semua berkas asli harus dibawa saat proses daftar ulang di kampus India.

Fasilitas Beasiswa ICCR
Rs 1 = Rp 200 (kurang lebih)

a. Biaya Hidup Bulanan (Living Allowance)
Untuk jenjang S1 uang saku sebesar Rs 18,000 per bulan. Untuk jenjang S2 uang saku bulanan sebesar Rs 20,000 . Untuk jenjang S3 uang saku bulanan sebesar Rs 22,000 dan untuk jenjang Postdoc sebesar Rs 25,000.

b. Uang Kuliah/SPP
Dibayarkan langsung oleh pihak ICCR ke kampus 

c. Uang Sewa Rumah
Bagi penerima beasiswa yang berada di kota Grade 1 yakni kota metropolitan seperti Delhi, Chennai, Bangalore dan Mumbai maka uang sewa rumah sebesar Rs 6,500 per bulan. Untuk yang tinggal di kota lain yakni sebesar Rs 5,500

Note: setiap penerima beasiswa wajib tinggal di asrama kampus (hostel) dan biaya sewa hostel + listrik akan dibayarkan langsung oleh ICCR kepada pihak kampus. Bagi yang ingin tinggal diluar kampus maka harus mendapat persetujuan dari ICCR dan besaran uang sewa seperti yang tertulis diatas. Bagi yang tidak mendapat persetujuan dari ICCR maka ICCR tidak akan memberikan uang sewa rumah sehingga biaya sewa rumah harus dibayar dengan uang saku pribadi.

d. Uang Buku (Contingent Grant)
Besaran uang buku sebesar Rs 5,000 (S1), Rs 7,000 (S2), Rs 12,500 (S3) dan Rs 15,500 (Postdoc). Nominal tersebut hanya didapat sekali selama masa kuliah berlangsung.

e. Biaya Penelitian atau Projek
Bagi mahasiswa S3 yang wajib melakukan thesis atau desertasi maka ICCR memfasilitasi dana penelitian sebesar Rs 10,000 (S3). Untuk jenjang S1 dan S2 yang tidak wajib thesis namun kampus mewajibkan pembuatan project work maka fasilitas dana yang diberikan sebesar Rs 7,000.

f. Biaya Kesehatan (Medical Benefit)
ICCR akan memberikan biaya kesehatan bagi penerima beasiswa dengan cara menyertakan bukti periksa atau bill obat. Bill periksa atau obat yang dicover oleh ICCR hanya yang berasal dari Klinik atau Rumah Sakit kampus dan Rumah Sakit Pemerintah.

g. Visa Belajar
Semua penerima beasiswa akan mendapatkan VISA  gratis.

h. ICCR Winter and Summer Trips
Setiap tahunnya ICCR akan mengadakan Winter Trip dan Summer Trip ke beberapa tempat wisata di kota pilihan. Biaya trip gratis bagi para penerima beasiswa. Fasilitas yang diberikan berupa transportasi, penginapan, makan, dan tiket masuk tempat wisata.

 
Bagaimana Cara Mendaftar?
ICCR adalah salah satu beasiswa yang paling tidak ribet prosedurnya menurut saya hehe... karena pelamar hanya cukup registrasi melalu website ICCR http://a2ascholarships.iccr.gov.in/
lalu mengisi data-data yang diperlukan dan upload semua dokumen-dokumen yang disyaatkan. Demi proses penulisan artikel ini dan kemudahan teman-teman dalam memahami maka saya juga melakukan registrasi di website ICCR.

Homepage A2A ICCR

 Langkah pertama yang harus dilakukan adalah membuat akun di portal Admission A2A ICCR http://a2ascholarships.iccr.gov.in/ pada tab Applicant Registration di pojok kanan atas homepage (lihat gambar)

Setelah klik tab Applicant Registration maka akan muncul halaman seperti dibawah. Setelah itu klik submit dan jika registrasi berhasil maka teman-teman akan mendapatkan email dari ICCR.

Applicant Registration

Setelah proses pembuatan  akun selesai, silakan kembali ke homepage dan log in menggunakan email dan password teman-teman. 

Setelah log in maka teman-teman akan melihat halaman akun seperti dibawah.

Halaman Akun

Pada halaman akun ini tersedia 3 pilihan pada sisi samping kanan; Apply Application, Check Status, dan View Profile. Apply Application untuk mendaftar beasiswa, Check Status untuk melihat status pendaftaran, dan View Profile untuk melihat profil singkat teman-teman. 

Klik tombol Apply Application untuk mulai mendaftar. . 



Setelah selesai mengisi semua data di halaman pertama lalu klik tombol NEXT dan akan muncul halaman kedua seperti dibawah


Bagi pelamar program S1 maka Previous Educational Qualification diisi berdasarkan ijazah SMA, untuk pelamar S2 berdasar ijazah S1, dan pelamar S3 berdasar ijazah S2. Untuk Percentage (%) Grade diisi berdasarkan nilai akhir yang didapat yang sudah diubah kedalam bentuk persen. Misal nilai akhir adalah 8.1 dari 10 maka perentage adalah 81%, jika IPK 3.00 dari 4.00 maka percentage adalah 75%, dst. 

Setelah selesai klik tombol NEXT dan akan muncul halaman seperti dibawah



Jangan lupa untuk siapkan foto tanda tangan dalam format JPG yang tidak lebih dari 200 kb. Setelah itu klik tombol NEXT dan akan muncul halaman akhir pendaftaran yakni upload berkas. 


Perlu diingat bahwa semua dokumen yang disertakan sudah harus berbahasa Inggris. Jika ada dokumen yang masih berbahasa Indonesia maka wajib diterjemahkan dalam Bahasa Inggris. Untuk pelamar S1 dimana ijazah biasanya masih berbahasa Indonesia maka ijazah wajib diterjemahkan oleh Penerjemah Tersumpah.

Note: Ketika Final Admission (Final Submit) sudah dilakukan maka informasi dan berkas yang di-submit tidak bisa diubah lagi.

Setelah semua berkas selesai diupload lalu klik FINAL SUBMIT maka proses pendaftaran telah selesai. Status berkas bisa  dilihat pada halaman awal di bagian Check Status.

Koreksi sebelumnya : data teman-teman akan tetap tersimpan walaupun teman-teman tidak langsung final sumit saat itu juga. Jadi mulai sekarang teman-teman sudah bisa nyicil untuk mengisi formulir dan melanjutkannya di lain waktu


Segala prosedur pendaftaran dilakukan secara online di website ICCR. Pelamar tidak perlu lagi mengirimkan berkas-berkas ke Indian Embassy atau Konjen.

Demikian info seputar beasiswa ICCR ini. Mudah-mudahan bermanfaat. Budayakan selalu membaca sebelum bertanya karena kompetisi paling awal dalam merai beasiswa adala kesabaran, ketelitian, dan kecermatan dalam membaca formulir.

Teman-teman, sekedar informasi saja bahwa apa yang saya tulis disini juga merupakan hasil saya riset, membaca, dan mempelajari segala informasi yang diberikan oleh ICCR (semejak regulasi dan peraturan baru dari ICCR dua tahun lalu). Jadi, saya mohon maaf apabila informasi hasil riset dan sedikit pengalaman yang tertuang di artikel ini masih banyak ketidaksempurnaan. Saya terbuka untuk segala koreksi demi kebaikan bersama. Saya sangat menyarankan untuk membaca Guidelines dalam format PDF yang sudah saya cantumkan link-nya diatas. Saya akan sesekali membuat penambahan dan sedikit koreksi pada artikel ini.

Bagi teman-teman yang ingin tanya jawab terkait beasiswa, pengalaman, atau apapun yang berkaitan dengan India bisa menghubungi saya di IG @rahma.fs  atau email s.fathurrohmah@gmail.com. Teman-teman yang ingin tau lebih banyak tentang belajar di India bisa follow akun IG @pasporkuliah. Sekian dari saya.


Wassalamu'alaikum

Rahma S